Rezeki Tidak Mungkin Salah Alamat oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Rezeki Tidak Mungkin Salah Alamat ini berangkat dari hadits riwayat Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُو خِمَاصًا ، وَتَرُوحُ بِطَانًا .رواه الترميذى و أحمد وابن ماجه
Dari Umar bin Khaththab berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Jika Kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-sebenarnya tawakal, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada Kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada seekor burung yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.’ (HR Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah)
Makna Tawakal
Tawakul merupakan bentuk isim masdar dari akar kata tawakkala yatawakkalu tawakkulan yang di antaranya didefinisikan dengan tharahal badanu fil ‘ubudiyyati wa ta’allaqal qalbu birrububiyyati. Yakni menggerakkan badan senantiasa beribadah kepada Allah dan selalu menggantungkan hati kepada Allah Subhanahu wa Taala.
Kata ini dalam bahasa kita lebih akrab dengan bentuk fiil madhi-nya yaitu tawakal.
Dengan demikian modal tawakal adalah keimanan kepada Allah dengan benar. Dan tawakal ini memiliki dua sisi yang saling terikat dan terkait yaitu sabar dan ikhtiar. Dengan demikian sikap tawakal merupakan bentuk aktivitas lahir dan batin yang disandarkan kepada Allah Subhanahu wa Taala.
Tawakal dan Takwa
Lebih jauh lagi makna tawakal ini berhimpit dengan makna takwa, karena takwa inilah yang dapat membuahkan sikap tawakal. Sehingga secara struktur, iman menempati urutan kekuatan utama, yang selanjutnya dengan iman yang benar diharapkan dan bahkan sudah seharusnya membuahkan sikap takwa.
Takwa yang benar di antaranya adalah memiliki sikap tawakal ini kepada Allah Subhanahu wa Taala dalam kehidupannya. Dan takwa yang demikian inilah sebagai puncak posisi seorang hamba kepada Allah. Sedangkan takwa yang belum melahirkan sikap tawakal ini belumlah disebut sebagai takwa yang sempurna atau haqqa tuqaatih.
Dimensi takwa yang sempurna tersebut akan menjadikan seorang hamba hidup dalam naungan Allah, yaitu dengan diberinya solusi dari setiap masalah kehidupannya dan diberikan karunia dari arah yang tidak disangkanya.
… وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-Nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (ath-Thalaq 2–3)
Tawakal dan Rezeki
Dalam ayat di atas ditegaskan Allah menjamin rezeki dan kecukupan dari orang-orang yang bertakwa serta bertawakal kepada-Nya. Ini merupakan jaminan yang pasti dan wajib diyakini oleh setiap hamba Allah, tentu dengan takaran yang sudah ditentukan bagi masing-masing.
Persoalan utamanya bukan pada banyak atau sedikitnya, akan tetapi pada keberkahan dari rezeki tersebut. Rezeki berkah itu berarti dapat membawa kesejahteraan lahir dan batin dan dapat mengantarkan setiap hamba untuk meraih kebahagiaan dunia sampai akhirat.
Sehinga dalam hal ini bukan hanya berorientasi dunia dan dunia saja sampai menua dan bahkan meninggal dunia, akan tetapi semakin bertambahnya usia semakin memiliki banyak waktu untuk menambah bekal untuk kehidupan di akhiratnya, yaitu untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mulia Bukan karena Kaya-Miskin
Banyak dan sedikitnya–dalam pandangan manusia–rezeki bukanlah menjadi standar kemuliaan seorang hamba di sisi Allah. Justru ketika diberikan rezeki melimpah hal itu merupakan amanah yang besar dari sisi-Nya, dan yang diberikan sedikit–dalam pandangan manusia–bukanlah orang yang dihinakan oleh Allah.
فَأَمَّا ٱلۡإِنسَٰنُ إِذَا مَا ٱبۡتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكۡرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّيٓ أَكۡرَمَنِ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبۡتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيۡهِ رِزۡقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّيٓ أَهَٰنَنِ
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku’.
Jadi memang tidak ada hubungannya bahwa kaya itu mulia dan miskin itu tidak mulia. Di sisi Allah kemuliaan seorang hamba tidak berdasar kaya dan miskin, pejabat atau rakyat. Hanya manusia saja yang merasa kalau kaya itu dia mulia dan orang miskin itu tidak semulia dirinya.
Inilah pandangan kaum materialis yang memandang kesuksesan itu standartnya adalah standart dunia dan dunia. Pandangan demikian adalah seperti pandangan orang-orang kafir, sebagaimana keterangan ayat di atas.
قُلۡ إِنَّ رَبِّي يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ وَيَقۡدِرُ لَهُۥۚ وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۥۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ
Katakanlah: ‘Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)’. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. (Saba 39)
Dalam hdijelaskan bahwa lapang dan sempitnya rezeki tidak tergantung cinta dan bencinya Allah kepada seorang hamba, akan tetapi hal itu faktor pilihan Allah. Jadi ini termasuk qadha, sedangkan mendapatkan banyak atau sedikit itu qadar, sedangakn cara mendapatkan rezeki itu adalah free will atau kehendak bebas kita, inilah yang kemudian dimintai pertanggungjawaban. Tetapi kebanyakan manusia sangat berharap untuk mendapatkan kelapangan selalu.
Rezeki Tidak Terkait Kemampuan Akal
Sebagaimana hadits di atas, Rasulullah memberikan ilustrasi yang sangat luar biasa, sebagaimana seekor burung yang keluar dari sarangnya di pagi hari dalam keadaan lapar, dan sore harinya burung tersebut pulang sudah dalam keadaan kenyang dan dapat tidur pulas tentunya.
Burung memiliki jiwa tawakal kepada Allah dengan benar-benar tawakal. Karena karunia Allah begitu luasnya seluas alam semesta yang telah diciptakan-Nya.
Jikalau rezeki itu berdasar kemampuan akal, maka semua binatang itu–karena tidak berakal–akan mati kelaparan. Tetapi rezeki itu adalah anugerah Allah diberikan kepada siapa saja tanpa kecuali. Jika diberikan melimpah maka itu adalah amanah dan ada hisabnya, demikian pula jika diberikan sedikit.
وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا وَيَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ كُلّٞ فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (Hud 6)
Keyakinan orang yang beriman rezeki tidak tergantung pada kemampuan dan kapasitas dirinya, akan tetapi semua itu karena ia telah dimampukan oleh Allah untuk dapat meraihnya, dan seringkali hal itu karena didukung kapasitas orang lain yang mendapat anugerah Allah terhadap amanah yang sedang dijalaninya. Sehingga jika ia jalankan sendiri tanpa keterlibat keahlian orang lain maka dapat dipastikan hal itu tidak terjadi, karena kapasitas dirinya juga sangat terbatas sekali.
Maka konsep berjamaah atau dalam istilah sekarang sinergi atau berkomunitas merupakan keniscayaan. Tanpa hidup berjamaah ini diri kita tidak akan bisa berbuat apa-apa dan bahkan diri kita tidak ada apa-apanya.
Kita hanyalah seonggok tubuh yang tidak akan dipedulikan oleh orang lain. Dengan sinergi atau komunitas maka kita masih dianggap eksis, apalagi jika kita dapat mewarnai suatu komunitas tersebut dengan baik.
Oleh karena itu etika menjadi sangat penting untuk dijaga sedemikian rupa, sehingga penghormatan dan penghargaan orang lain terhadap diri kita bukanlah penghormatan yang semu. (*)
Rezeki Tidak Mungkin Salah Alamat adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 3 Tahun XXVI, 5 November 2021/29 Rabiul Awal 1443.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.