Bencana dan Squid Game Versi Nyata oleh Ahmad Faizin Karimi, aktivis tinggal di Gresik.
PWMU. CO – Musim hujan baru mulai, banjir sudah melanda di mana-mana. Satu-dua kali hujan dengan intensitas sedang saja sudah cukup berubah menjadi bencana. Banjir bandang di Batu Malang terjadi akibat perubahan vegetasi berakar kuat di lereng gunung diganti menjadi tanaman budidaya musiman.
Banjir tahunan sepanjang daerah aliran sungai (DAS) besar seperti Brantas dan Bengawan Solo akibat pendangkalan sekaligus penyempitan sungai sebab dan untuk pemukiman.
Hujan yang sesungguhnya adalah rahmat sebagaimana hadits Nabi, berganti menjadi laknat akibat salah perilaku manusia (bima kasabat aidinnasi). Dalam waktu dekat jika tren kerusakan terus berlanjut—menurut Wallace-Wells dalam bukunya The Uninhabitable Earth yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Bumi yang Tak Dapat Dihuni: Kisah tentang Masa Depan—manusia harus pergi dari bumi dan mencari planet baru yang bisa dihuni. Meninggalkan bumi sebagai planet penuh tumpukan sampah dan lingkungan tercemar, seperti digambarkan film kartun Wall-E.
Situasi kerusakan bumi sangat buruk. Jauh lebih buruk dari yang kita pikirkan, demikian tulis Wallace-Wells. Banjir besar hanya oleh hujan sebentar merupakan satu di antara bencana yang kini seperti menjadi hal biasa.
Peningkatan suhu bumi membuat daya tahan organ kita menurun, penggunaan AC semakin memperparah kenaikan suhu akibat emisi karbon untuk memproduksi listriknya yang mengonsumsi 10 persen dari total pasokan listrik.
Mencairnya es di kutub menimbulkan kenaikan air laut yang akan menenggelamkan beberapa daratan, memaksa manusia berpindah dan semakin mengurangi luas hutan. Krisis air dan pangan akibat iklim yang tak lagi ramah tanaman pangan. Dan jangan lupakan bencana maha besar yang masih kita rasakan: wabah akibat perubahan interaksi manusia binatang.
Pelbagai bencana ini mengingatkan kita bahwa dunia yang kita tinggali ini semakin berbahaya. Ironisnya bahaya itu kitalah yang menciptakan sendiri. Tak hanya berpotensi membuat kita terluka, tapi juga bertaruh nyawa.
Dunia ini permainan (la’ibun), kata al-Quran dan manusia adalah makhluk yang bermain (homo ludens), kata Johan Huizinga. Permainan itu bisa menghibur, namun karena keserakahan dan konsumerisme permainan ini bergeser menjadi pertaruhan nyawa.
Bagi sebagian besar manusia yang hidupnya serba terbatas, permainan dunia ini semacam tragedi. Dalam tragedi, mereka yang baik akan mengalami banyak pengalaman buruk akibat situasi yang tidak adil. Dipaksa mengikuti dengan risiko kematian yang lebih besar daripada manusia pemilik modal. Bagi manusia pemilik modal, permainan dunia adalah komedi. Tak peduli apakah konsumerisme itu menyebabkan peningkatan risiko bagi manusia lain.
Versi Nyata Squid Game
Ini seperti serial film Squid Game, tapi versi dunia nyata. Dalam film tersebut, 455 orang putus asa mengikuti permainan demi hadiah untuk mengubah hidup mereka yang terpuruk. Tak disangka, permainan itu taruhannya nyawa. Permainan yang sebenarnya hanya untuk memuaskan hasrat kakek Oh Il Nam akan kegembiraan menjelang akhir hidupnya.
Kita ini adalah pemeran Squid Game di dunia nyata. Perilaku kita diarahkan oleh logika konsumsi, secara sadar sekaligus tak sadar. Pola semacam ini pada mula dan ujungnya, dinikmati oleh segelintir manusia pemilik modal seperti Kakek Oh Il Nam, dan kita harus pandai melewati rintangan berbahaya yang bisa menghilangkan nyawa kita, seperti penyakit, bencana, hingga kekerasan oleh kekuasaan.
Apakah kita bisa berhenti dari permainan semacam ini? Secara teoritis jawabannya bisa. Seperti di film Squid Game yang permainannya bisa dihentikan jika semua peserta setuju berhenti. Dalam dunia konsumeris, konsumen secara kolektif bisa menjadi gerakan kontrol. Namun itu seperti sebuah utopia. Dunia kadung berjalan merusak tak terkendali, Juggernaut kata Antony Giddens.
Jadi mau tidak mau kita sebagai pemain yang harus pandai bersiasat agar lolos dari semua jebakan. Mengikuti sekaligus mengendalikan diri. Jika tidak, maka Mugunghwa Kkoci Pieot Seumnida…Dor!! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni