Trik Melawan Lupa: Di Balik Buku Kisah-Kisah Aktivis Masjid Unair, oleh M. Anwar Djaelani, penulis dan editor buku
PWMU.CO – Buku bersampul kuning cerah yang terbit pada 2020 itu menarik. Judulnya, Kisah-Kisah Aktivis Masjid Universitas Airlangga 1980-2020 dan dilengkapi tagline: “Dari yang Serius hingga Jenaka, Penuh Makna Menggugah Jiwa”.
Buku setebal 381 halaman dan berukuran 15,5 X 23,5 cm itu, terlihat anggun. Kecuali isinya yang menjanjikan ilmu dan pengetahuan, ada hikmah cukup besar di balik proses penyusunan buku yang relatif lama yaitu lima tahun. Hikmah apa itu?
Buah Silaturrahim
Saat kuliah di Universitas Airlangga pada 1980-an, saya aktif dan menjadi pengurus di Masjid Universitas Airlangga (selanjutnya ditulis MUA). Masjid yang berlokasi di Kampus B itu, di belakang hari diberi nama Nuruzzaman.
Tentu saja, yang aktif dan menjadi pengurus di MUA seperti saya, banyak. Seiring perjalanan waktu, banyak yang lalu berstatus sebagai mantan aktivis MUA. Mereka berkarya dan berdomisili di berbagai kota. Maka agar silaturahmi tetap terjaga, sesekali diadakan pertemuan dan itu melibatkan banyak angkatan kepengurusan.
Salah satu pertemuan silaturahmi itu terjadi pada tahun 2015. Acara di rumah (almarhum) Kak Zainul Arifin di Permata – Juanda itu, dihadiri banyak mantan aktivis MUA. Kak Mohammad Nasih, Ketua Umum MUA periode 1988-1989 juga hadir.
Ada yang menarik di acara itu. Kak Nasih—yang pada 2015 itu memegang amanah sebagai Wakil Rektor II Universitas Airlangga—menyampaikan ide tentang perlunya menerbitkan buku yang menghimpun kisah-kisah aktivis saat dulu berkegiatan di MUA. “Pasti itu inspiratif,” kata beliau yang telah menjadi aktivis sejak di sekolah menengah.
Lebih jauh, buku itu insyaallah bisa mencerahkan, secara umum bagi masyarakat luas dan secara khusus bagi warga Universitas Airlangga. “Senyampang masih cukup lengkap mantan aktivis MUA. Mumpung masih ada kesempatan dalam menulis pengalamannya, maka berharga jika ide ini bisa diwujudkan,” tambah Kak Nasih bersemangat.
Gayung Bersambut
Gagasan Kak Nasih—kini Rektor Universitas Airlangga (Unair)—disambut baik. Argumentasinya, Allah memang meminta kita untuk rajin mengambil pelajaran dari kisah-kisah. Perhatikanlah ayat ini: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (Yusuf 111).
Kisah banyak di sekitar kita. Meski begitu, tetap saja diperlukan tambahan. Tetap dibutuhkan buku-buku yang menghimpun kisah, misalnya tentang gerak langkah para pejuang dakwah. Kisah-kisah yang dibukukan itu insya Allah akan sangat bermanfaat bagi si penulis dan masyarakat pembaca.
Apa kriteria kisah yang baik? Bahwa, di dalam kisah itu mengandung ibrah ataupelajaran. Bahkan, kisah yang bisa mengundang senyum karena jenaka juga punya potensi bermuatan pelajaran.
Ide Kak Nasih untuk menuliskan kisah itu sangat bisa diterima, sebab semua kisah pasti mengandung ibrah. Segenap cerita pasti memiliki makna. Sungguh, jangan ragu-ragu, menulislah! Jangan pernah merasa, bahwa kisah atau tulisan kita tak punya nilai. Percayalah, tak ada yang sia-sia dari setiap langkah dahwah kita (baik kecil atau besar). Semua, insyaallah berguna sebagai pembelajaran bagi masyarakat.
Siapa Aktivis
Atas gambaran itu, tumbuhlah kesadaran mantan aktivis MUA untuk menuliskan pengalamannya masing-masing. Tapi, siapakah mantan aktivis MUA itu?
Jika saya tangkap dari percakapan-percakapan para sahabat, maka akan berkategori sebagai mantan aktivis MUA jika seseorang:
Pertama, pernah menjadi pengurus MUA. Kedua, pernah menjadi panitia minimal di salah satu kegiatan MUA. Ketiga, pernah menjadi peserta minimal di salah satu kegiatan MUA. Keempat, pernah menjadi jamaah yang aktif memakmurkan MUA.
Begitu ide menulis dan membukukan pengalaman dari mantan aktivis MUA disosialisasikan, masih di 2015, langsung masuk sejumlah tulisan. Kak Abdul Rahem—Ketua Umum UKKI-MUA periode 1990-1991—menyetor tiga judul.
Kak Imam Mustofa—aktivis di awal 1980-an—mengirim tiga tulisan. Kak Kholis Ernawati, Ketua Bidang Keputrian periode 1993-1994, memasukkan satu tulisan. Terakhir, ini yang istimewa, Kak Djoko Sulistyo menyampaikan satu naskah.
Mengapa Kak Djoko terbilang istimewa? Hal ini karena di awal 1980-an, saat kami masih menjadi mahasiswa, beliau sudah menjadi dosen FISIP Universitas Airlangga. Lelaki murah senyum itu aktif berjamaah di MUA. Dia yang asli Purworejo Jawa Tengah itu bersahabat dengan banyak aktivis MUA semisal Kak Makmun Abdullah Moesa, Kak Masykur, dan Kak Adib Sa’dullah (almarhum). Dengan demikian, beliau masuk di salah satu kategori mantan aktivis MUA.
Lama Menunggu
Waktu terus berjalan. Sampai pada 2020, lima tahun setelah ide bergulir, tak ada tambahan naskah. Sejumlah kesulitan diungkap mantan aktivis MUA. Misal, lupa apa yang bisa dikisahkan karena sudah berlalu puluhan tahun (misal, bagi yang aktif di MUA pada awal 1980-an, berarti sudah sekitar 40 tahun berlalu kegiatannya).
Banyak yang nyaris lupa total atas aktivitas-aktivitas apa yang dulu pernah dikerjakannya. Jika masih ingat, tapi detail peristiwanya sudah tak utuh. Misal, lupa tahunnya, lupa nama-nama sahabat yang bersama di sebuah “tim kerja”, dan jenis-jenis lupa yang lain.
Terkait lupa, ada yang lalu menghubungkannya dengan sisi pertanggungjawaban atas tulisan yang nanti akan dihasilkan. Maksudnya, jika yang kita ingat hanya samar-samar dan lalu kita “memaksa” menuliskannya maka khawatir tak akurat. Tentu saja hal ini bisa menimbulkan ekses yang kurang baik.
Lupa, Sungguh!
Lupa, memang bisa menyergap siapa saja. Banyak mantan aktivis MUA yang mengalaminya. Bahwa, memang tidak mudah mengingat apa yang telah terjadi puluhan tahun lalu.
Maaf, dalam hal lupa, saya sendiri punya minimal dua contoh saat akan menuliskan pengalaman. Pertama, pada 1985 MUA mengadakan kunjungan muhibbah ke Jamaah Shalahuddin UGM Yogyakarta. Agendanya, antara lain, dialog dakwah dengan menampilkan dua pembicara. Wakil dari UGM, pembicaranya Ismail Yusanto. Sementara dari MUA, saya. Ternyata, pokok-pokok dan apalagi detail dari apa yang saya bicarakan di acara itu, lupa.
Kedua, pada 1987, di Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) di ITB juga sama. Di sidang pleno, saya menjadi juru bicara untuk menyampaikan hasil dari rapat komisi yang saya ikuti. Apa isinya? Saya lupa sama sekali!
Mozaik Ingatan
Jangankan yang sudah berlalu puluhan tahun, yang sekadar sudah lewat empat tahun saja, detail peristiwanya sudah lupa. Lihatlah, pada 2016 mantan aktivis MUA mengadakan rihlah (wisata) ke Banyuwangi. Laporan rihlah selama dua hari penuh di Banyuwangi itu tidak segera saya tulis setelah selesai acara. Baru akan saya tulis hanya karena ada rencana membuat buku yang disebut di paragraf pembuka tulisan ini. Apa akibatnya?
Saya perlu waktu yang sangat lama untuk menulisnya. Saya harus berjuang melawan lupa. Caranya? Di antaranya, membongkar arsip, mencari agenda acara dengan harapan bisa dilakukan “rekonstruksi”. Sayang, tak ketemu!
Saya yang tinggal di Sidoarjo lalu menghubungi sahabat yang menjadi tuan rumah saat kami di Banyuwangi, yaitu Kak Susilowati. Kepada dia saya minta bantuan, mencocokkan dengan “data” yang dimilikinya.
Kak Susilowati bersemangat untuk bisa membantu saya. Tapi, dia juga punya masalah yang sama yaitu lupa. Meski begitu, dia tidak menyerah. Dia lalu membuka-buka album foto kenangan. Dari situlah, “rekonstruksi” kisah bisa dikerjakan.
Dengan dilengkapi data yang diberikan Kak Susilowati, kisah perjalanan rihlah MUA ke Banyuwangi akhirnya selesai juga ditulis. Alhamdulillah tulisan berjudul Rihlah KA-MUA ke Banyuwangi 25-26 Maret 2016; Dari “Rafting Mendebarkan di Songgon” sampai “Senja Indah di Pulau Merah” turut melengkapi isi buku yang disebut di awal tulisan ini.
Buku yang Penting
Itulah, jika sebuah peristiwa yang kita alami tidak segera ditulis. Akan ada kesulitan besar dalam mengingatnya, terutama dalam hal detil. Hal ini sangat berbeda jika apa yang kita kerjakan langsung kita tulis.
Berikut ini contoh, yaitu saat mantan aktivis MUA mengadakan rihlah ke Malaysia pada 2017 dan ke Brunei pada 2019. Atas masing-masing acara, di pekan pertama sejak kembali dari dua perjalanan itu, bisa dihasilkan tulisan yang cukup lengkap.
Ini terjadi karena saya segera menulisnya dan ingatan masih segar terkait acara yang saya ikuti. Jika tidak begitu, sangat mungkin saya akan menemui kesulitan sebagaimana yang tergambar saat akan menulis catatan perjalanan ke Banyuwangi di atas.
Pikiran saya lalu berkembang. Bahwa berdasar pengalaman, kesulitan menulis sebuah peristiwa akan didapat jika itu sudah lama berlalu. Namun, hal yang demikian bisa diatasi jika kita punya buku harian dan rajin mengisinya.
Selesai Juga
Kembali ke buku Kisah-Kisah Aktivis Masjid Universitas Airlangga 1980-2020. Semangat mewujudkan buku yang menghimpun pengalaman mantan aktivis MUA kembali dipantik pada sekitar April 2020.
Lewat grup WhatsApp KA-MUA (Keluarga Alumni MUA), naskah mulai “ditagih”. Sejak itu, secara bertahap masuk banyak tulisan. Alhamdulillah, sampai naik cetak pada Desember 2020 terkumpul puluhan tulisan.
Kesemua tulisan lalu disunting. Kemudian dikelompokkan dengan model rubrikasi. Cara ini, untuk memudahkan pembaca. Tulisan-tulisan dengan tema senada, digabung dalam satu rubrik.
Lewat penggolongan tema itu, didapat 10 rubrik. Dibuka dengan rubrik Jejak Manis. Lalu, Almamater Bernama MUA. Kemudian, Akademisi ‘Lulusan’ Bidang Keputrian Berkisah.
Ada juga rubrik Buah nan Menggugah. Pun, Di Sekitar Ghirah Bocah, Jenaka dan Jenaka, Inspiratif, Inspiratif, Mengenang yang Telah Berpulang, dan Reuni-Rihlah. Buku diakhiri dengan rubrik Renungan Hamba.
Pengelompokan di rubrik, bisa relatif. Artinya, sebuah tulisan-dengan melihat isinya—berpeluang masuk di lebih dari satu rubrik yang berbeda. Berikut ini sebuah contoh: Tulisan berjudul Aktivis “Nakal” dan Umrah Man Jadda Wajada,kecuali bisa di rubrik Jejak Manis juga bisa dimasukkan ke rubrik Inspiratif, Inspiratif!.
Buku berisi 61 tulisan. Total penulis 47 orang. Berarti ada beberapa penulis yang menyumbang lebih dari satu tulisan.
Berbagai Pelajaran
Penulisan buku Kisah-Kisah Aktivis Masjid Universitas Airlangga 1980-2020merupakan pekerjaan yang tak mudah. Pertama, melibatkan banyak orang. Kedua,d i depan sudah disebut, faktor daya ingat. Kenangan yang akan ditulis terjadi di sekitar empat puluh tahun lalu. Itu perkara yang tak gampang.
Empat puluh tahun lalu? Benar, karena sebagaimana yang ada di judul buku maka kisah-kisahnya dimulai dari awal 1980-an. Sementara, naskah buku selesai ditulis dan dicetak pada tahun 2020.
Adakah kisah unik lain dalam hal menyusun mozaik ingatan? Ternyata, untuk usaha mengingat kenangan, mantan aktivis MUA punya usaha yang beragam. Di antaranya, dengan membuka album foto kenangan seperti yang dilakukan Kak Susilowati di atas.
Hal lainnya, dengan melihat piagam dan/atau vandal yang pernah diterimanya saat berkegiatan di MUA. Juga, gabungan dari dua cara itu. Dari situlah, memori dirangsang dan ingatan lalu dianyam.
Mulai dan Teruskan!
Keberadaan sebuah buku harian sungguh penting. Apa yang saya dan teman-teman mantan aktivis MUA alami di atas adalah fakta. Sungguh tak mudah mengingat, terutama dalam hal detil, kejadian beberapa tahun dan apalagi puluhan tahun sebelumnya.
Bagi siapapun, sejatinya buku harian itu penting. Pertama, data yang terekam di dalamnya bisa dipakai untuk menjadi bahan tulisan yang sangat berharga. Kedua,ini implikasi ikutan yang tak kalah bermanfaat, bahwa dengan buku harian hidup kita akan lebih terjaga. Kok bisa seperti iu?
Hal tersebut, yaitu hidup akan terjaga, menjadi mungkin karena di keseharian kita akan selalu berusaha agar semua aktivitas selalu dalam konteks kebaikan. Jika tidak demikian, tentu kita akan malu karena buku harian kita akan banyak mencatat aktivitas yang jelek. Bukankah kita harus jujur saat mengisi buku harian?
Alhasil, bagi yang belum punya buku harian, tak ada kata terlambat untuk memulainya. Sementara, kepada yang telah memiliki buku harian, sila rawat dan teruslah untuk rutin mengisinya. Bismillah! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni