Selera Aneh Praktik Beragama oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Tren puritanisme di kalangan menengah Islam sungguh menarik. Setidaknya bisa menjadi acuan untuk mencandra kecenderungan perilaku keberagamaan muslim kontemporer dari berbagai sudut pandang.
Pertama, seorang famili, bekerja di bank pemerintah. Bankir profesional dengan prestasi bagus. Pekerja keras, jujur, ulet dan banyak membantu. Terutama panti asuhan, donatur tetap Lazismu dan penyandang beasiswa puluhan siswa. Di kantor dikenal sebagai pribadi yang baik. Bahkan sangat baik, rajin ibadah, ramah dan menyenangkan.
Dua tahun lalu saat bertemu di rumah kakek, ia sudah tinggalkan pekerjaan sebagai bankir dengan alasan riba. Kini ia memilih sebagai penjual minyak wangi.
Ia terkesan dengan ceramah ustadz tentang pesan Nabi saw: Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang saleh dan orang yang buruk bagaikan berteman dengan penjual minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu. Engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal mendapat baunya.
Hari-harinya adalah menunggu adzan dan shalat jamaah di masjid, sambil jualan minyak wangi kepada jamaah yang lewat. Istri dan anaknya pun ikut membantu jualan kue dan bothok. Ditawarkan kepada ibu-ibu jamaah pengajian Aisyiyah. Saya melihat rona kebahagiaan dan kedamaian meski jauh dari kecukupan dibanding saat menjadi bankir.
Beda lagi dengan selera kawanku yang satu ini. Ia berkeyakinan selain Allah adalah kecil. Maka ia nafikan semua yang tidak selaras dengan pikirannya. Selain hukum Allah adalah sesat dan kafir. Ia sebut Pancasila dan rezim adalah thaghut dan harus dibinasakan.
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah (5) : 44)
Ayat ini menjadi alasan kenapa ia halalkan semua darah dan menjadi pembenaran untuk membunuh dan memerangi kekafiran menegakkan kalimat tauhid.
Ketiga adalah tetangga sebelah rumah. Seorang yang menurut saya sangat alim. Pintar nderes al-Quran dan pandai membaca kitab kuning, pengetahuan agamanya luas. Ibadahnya sangat khusyuk.
Tapi ia tak bersedia menjadi khotib. Apalagi ngisi pengajian ranting rutin sepekan sekali. Pada setiap pengajian ia duduk bersandar di sebelah mihrab.
Ia sangat takut dengan ayat ini: Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Ash-Shaff: 2-3).
Sebab itu ia ogah menjadi khotib atau mubaligh.
Terakhir adalah karibku. Orang dengan pikiran paling aneh. Ia wakafkan seluruh hartanya untuk membangun masjid, sekolah, panti asuhan dan lainnya. Ia menjadi donatur tetap di berbagai lembaga zakat.
Ia tidak menghafal al-Quran. Ia juga tak punya anak yang bakal memberinya mahkota yang disantrikan di rumah tahfidh. Tapi ia membiayai puluhan calon hafidh.
Ia tidak gemar mengaji tapi sering beli mushaf al-Quran kemudian dibagi-bagikan. Ia juga jarang datang memenuhi undangan pengajian ranting atau cabang. Tapi selalu sediakan kue atau traktir bakso buat jamaah. Pernah ia bikin sepuluh rombong yang dibagi-bagi gratis kepada penjual bakso, cilok dan melijo.
Dia terkesima dengan pesan Nabi saw: Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. (HR Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni). Sebab setiap kita berbuat baik kepada orang lain, manfaatnya akan kembali kepada kita.
Bagi saya: beragama adalah soal cita rasa, tergantung selera untuk bisa dinikmati. Tujuannya sama: mendapat ridha dan syukur bisa masuk surga. Wallahu taala a’lm.
Editor Sugeng Purwanto