PWMU.CO – Listrik Mati saat Pelatihan, Begini Strategi Pertahankan Antusiasme Peserta. Pagi itu, saya dan 154 guru SD/MI dan SMP/MTs Negeri/Swasta se-Kabupaten Gresik hadir di Aula Ainul Yakin Dinas Pendidikan (Dispendik) Kabupaten Gresik.
Kami sedang mengikuti pelatihan Peningkatan Kompetensi Pendidik, Pengembangan Program Kompensatoris bagi Anak Autisme dan Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara (PDSRW), Sabtu (13/11/2021).
Sekitar pukul 08.00 WIB, saya tiba di aula lantai 2 tersebut. Hampir separuh kursi yang ditata berjarak sudah terisi. Di antara para peserta itu, tampak Koordinator Konseling Spemdalas Ratih Rosulin SPsi dan Koordinator Konseling SD Mugeb Yozitha Intan Mata Indah SPd melambaikan tangan. Spontan saya menghampiri mereka.
Sambil menunggu pelatihan dimulai, kami memanfaatkan kesempatan langka pertemuan tatap muka itu untuk mendiskusikan beberapa kasus yang sedang kami tangani. Tidak sekadar curhat, kami juga saling bertukar strategi.
Sementara itu, di belakang kami, sepuluh guru dari Forum Guru Pendidik ABK Kabupaten Gresik asik berlatih bahasa isyarat. Sebab, para guru yang kompak berbaju putih dan berjilbab biru dongker itu mendapat amanah menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan bahasa isyarat. Suasana inklusif memang ditanamkan dalam pelatihan pagi hingga menjelang sore itu.
Ada tiga narasumber ahli dan berpengalaman di sana. Pertama, Kepala UPT Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (LP ABK) Dispendik Gresik Innik Hikmatin SPd MPdI yang menerangkan Metode Amakasa.
Kedua, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Muryantinah Mulyo Handayani MPsych yang menjelaskan autisme dan metode treatment and education of autistic and related communication handicapped children (TEACCH). Ketiga, Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) River Kids Malang Iin Indrawati SPsi yang memaparkan bagaimana penerapan TEACCH di sekolahnya.
Penerapan Metode Amakasa
Bu Innik menyampaikan materi pertama kali. Beliau menerangkan penerapan metode Amakasa (Abjad Jari Metode Makasa). Yaitu salah satu cara membaca al-Quran dengan bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas sensorik rungu wicara (PDSRW).
Bu Innik menyatakan, sebenarnya, istilah ‘penyandang disabilitas’ yang berarti punya hambatan pendengaran kurang tepat. Dia mendapat protes, “Kami tidak memiliki hambatan, Bu. Sejak lahir kondisi kami sudah demikian. Kami memang dilahirkan tuli.”
Ibu yang pernah menjabat Wakil Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kabupaten Gresik ini menekankan, metode Amakasa dia ciptakan untuk menyesuaikan kebutuhan anak-anak tuli yang semestinya berkomunikasi dengan bahasa isyarat. “Kita menyesuaikan, bukan memaksa mereka berkomunikasi lisan seperti kita,” ucapnya.
Kemudian, dengan semangat, Bu Innik memandu seluruh peserta belajar isyarat jari dalam metode Amakasa. Jemari kanan kami berusaha mengikuti isyarat yang menunjukkan huruf hijaiyah, mulai alif sampai ya.
Beberapa kali Bu Innik mengulang isyarat jari saat menemui peserta yang salah menirukan. “Ini huruf ‘ta’, ibu jari dan jari tengah tegak, lurus, mepet. Tidak boleh pisah jarinya, karena sudah standar,” terangnya. Kemudian lanjut menerangkan tentang isyarat jari untuk tanda baca dhomah, kasroh, dan fatkhah.
Metode Amakasa memang telah mendapat pengakuan hingga tingkat nasional. Kamis (28/10/2021), Bu Innik kembali menghadiri Sidang Penyusunan Pedoman Membaca Al-Quran bersama Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Jakarta.
Habis Gelap, Tak Kunjung Terang
Di tengah itu, sekitar pukul 09.00 WIB, lampu mati yang memang sudah terduga pun terjadi. Dalam sambutan sebelumnya, Bu Innik bersyukur sampai waktu dia berdiri di sana, pemadaman wilayah itu belum juga tampak.
Dia berharap, permintaannya—kepada petugas terkait agar gedung pelatihan tersebut tak ikut dipadamkan listriknya—dikabulkan. Mengingat, seluruh undangan pemateri maupun peserta telah disebar.
Tapi kenyataannya, beberapa menit kemudian listrik tetap padam. Ruang aula yang mulanya terang-benderang berubah gelap seketika. Tidak hanya lampu, tapi pendingin ruangan, komputer, dan proyektor ikut padam.
Gema riuh peserta di aula itu mendorong Bu Innik mengambil langkah sigap menenangkan. “Harap tetap tenang, Bapak Ibu. Dalam gelap ini apakah Bapak Ibu masih bisa melihat saya?”
Kompak, saya dan seluruh peserta menjawab bisa. Cahaya yang menerobos jendela besar pada sepanjang dinding kanan-kiri kami sangat membantu. Bu Innik lantas menghibur peserta dan memohon maaf.
“Mohon maaf, Bu Innik tidak bisa membahagiakan, memberikan yang terbaik untuk Bapak Ibu. Meski redup tak bercahaya secara lahiriyah, tapi secara batiniyah Allah memancarkan cahaya ke seluruh sudut ruangan penuh keberkahan,” ucapnya.
Kombinasikan Belajar Visual-Auditori
Sebagian panitia juga sigap menyalakan generator set (genset). Beberapa menit kemudian, genset langsung bekerja sehingga mikrofon masih bisa menyala, meski beberapa kali terputus-putus.
“Alhamdulillah, dan atas kuasa Allah ternyata masih ada genset, suara saya masih terdengar ya Bapak Ibu?” tanya Bu Innik lagi. Lagi-lagi, kami serentak menjawab bisa.
Beruntung, para pemateri memahami kondisi itu. Pemateri kedua dan ketiga yang akrab kami sapa Bu Antin dan Bu Iin menyampaikan materi dengan padat dan interaktif. Tak kalah semangat, para peserta juga aktif menjawab beragam pertanyaan yang mereka lontarkan.
Karena layar proyektor ikut padam sehingga tidak bisa menampilkan materi, maka dengan sigap panitia segera memfotokopi hand out materi. Tampak beberapa peserta yang duduk di barisan belakang menyalakan senter ponselnya untuk mempermudah membaca.
Ternyata tidak hanya saya yang merasa sangat terbantu dengan fotokopi materi itu. Kepala SD Muhammadiyah 1 Bawean Nur Laily SPd yang sejak awal antusias hadir di pelatihan itu pun merasa demikian.
“Menyenangkan sekali rasanya bisa hadir di pelatihan yang banyak sekali manfaatnya. Meskipun lampu mati, ruangan terasa panas, saya yang tipe belajar visual bisa betah berjam-jam jadi pendengar karena materinya sarat ilmu dan merupakan pengetahuan pertama bagi saya,” ungkapnya.
Perempuan kelahiran Ujungpangkah yang kini mengabdi jauh dari rumahnya untuk merintis sekolah baru itu bersyukur berkesempatan mengikuti pelatihan ini. “Dapat ilmu, dapat teman baru, ketemu guru saya waktu MI,” ujar Ustadzah Lely—panggilan akrabnya.
Peserta Tetap Antusias
Pemadaman yang katanya hanya berlangsung dua jam itu pun berlanjut hingga sekitar pukul 14.00 WIB. Alhasil, saya dan para peserta menyimak pemateri dalam remang. Namun, keterbatasan intensitas cahaya dalam ruangan itu tidak menyurutkan semangat belajar.
Antusias peserta terjaga hingga Bu Antin selesai memaparkan materi. Lebih dari lima peserta bertanya, baik yang duduk di area cukup terang (mendapat asupan cahaya dari jendela) maupun di area remang (barisan belakang, tanpa jendela di samping kanan-kirinya).
Di antaranya, pertanyaan datang dari Kepala MI Assaadah Qomarudin Bungah Dra Hj Aminah Ulfa MPdI. Saat itu Bu Ulfa—panggilan akrabnya—duduk di ujung utara sehingga tidak mendengar jelas pemaparan Bu Antin yang lebih sering berjalan di area selatan.
Dalam kesempatan itu, Bu Ulfa juga menceritakan dua siswanya di kelas IV dan kelas VI yang berkebutuhan khusus. Siswa pertama, belum bisa membaca padahal sudah kelas 4, sehingga sekolahnya memfasilitasi pendampingan khusus oleh seorang guru. Siswa kedua, baru bisa tidur menjelang pagi sehingga sering tidak bisa masuk sekolah paginya.
Bu Antin lantas menenangkan, tidak apa jika siswa belum bisa lancar membaca. “Di Indonesia saja yang lebay anak harus bisa membaca di usia 7 tahun, padahal umur 7 tahun itu idealnya anak baru mulai belajar membaca,” terangnya.
Merespon siswa yang mengalami kesulitan tidur, Bu Antin menyarankan agar menggali lebih lanjut karakteristik dan kebutuhan siswa. Belajar dari kliennya, memang ada anak autistik yang sangat sensitif terhadap bunyi. Bunyi yang tidak terlalu keras pun dia rasa mengganggu. Maka, kliennya menggunakan headset atau earplug untuk meminimalkan gangguan bunyi.
Bu Ulfa pun bersyukur mengikuti pelatihan ini. “Alhamdulillah mendapat pengetahuan baru terutama dalam menangani anak berkebutuan khusus, juga cara mengajarkan baca al-Quran,” ujarnya.
Strategi Ubah Tempat Duduk
Hingga akhir pemaparan narasumber ketiga, Bu Iin, peserta juga tetap mempertahankan semangatnya. Terlebih, Bu Iin menerapkan strategi mengubah posisi duduk peserta. Untuk menghidupkan suasana, dia meminta peserta duduk berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari 10 orang.
Dengan membentuk kelompok, menggeser kursi, dan muncul interaksi perkenalan dengan beberapa peserta di sekitar, suasana pelatihan tidak monoton. Saya dan peserta lain bahkan lebih aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan reflektif terkait kebutuhan siswa autisme.
Di antara kelompok-kelompok yang duduk melingkar itu, Bu Iin berkeliling. Dia menerangkan penerapan TEACCH di sekolahnya. Menjelang akhir sesi pelatihab, Bu Iin menyajikan kasus seorang siswa autisme. Setiap kelompok diminta mengkaji alternatif strategi penanganan untuk kasus itu.
Setelah berdiskusi sekitar sepuluh menit, dia meminta ada beberapa perwakilan peserta inisiatif maju dan mempresentasikan hasil diskusi di kelompok masing-masing. Dalam kesempatan itu, ada 4 perwakilan yang presentasi. Yaitu saya, Bu Ulfa, Bu Suyanti SPd dair UPT SDN 13 Gresik, dan Bu Elfrida Ria Sari SPd dari UPT SDN 242 Gresik.
Terbukti, di antara remang cahaya itu, ilmu dan pengalaman pemateri tetap terpancar. Bahkan para peserta dapat mencernanya dengan baik. Saya dan para peserta bersyukur masih dapat menimba ilmu di pelatihan itu, meski dengan penerangan minim dan kadang suara terputus-putus.
Di luar sana, masih banyak manusia yang bahkan hanya gelap dalam pandangannya dan hanya sunyi dalam pendengarannya, tapi itu semua tidak menjadi penghalang mereka belajar dan bertahan hidup. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni