109 Tahun Muhammadiyah dan Jejak sang Penggerak, oleh M. Anwar Djaelani, aktivis dan penulis buku-buku keislaman.
Boleh jadi, saat KH Ahmad Dahlan (1868-1923) mendirikan Muhammadiyah pada 1912 tak pernah membayangkan akan sebesar dan sebermanfaat seperti sekarang ini. Maka, menarik, jika di usia Muhammadiyah yang genap ke-109 ini, kita cermati sebagian langkah-langkah sang Penggerak di masa awal-awal.
Performa Kini
Muhammadiyah besar dan bermanfaat. Lihat saja fakta berikut ini. Muhammadiyah yang didirikan Ahmad Dahlan di salah sebuah kampung di Yogyakarta, Kauman, kini punya amal usaha yang luar biasa dan mendunia.
Pada 2021, amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah berkembang pesat. Organisasi itu telah memiliki 163 universitas, 23 ribu PAUD dan TK, 348 pondok pesantren, 117 rumah sakit, 600 klinik serta ribuan pendidikan dasar dan menengah. Juga, berdasar data pada 2020, Muhammadiyah memiliki 318 panti asuhan, 54 panti jompo, dan 82 rehabilitasi cacat.
Tentu saja, aset dari berbagai amal usaha Muhammadiyah seperti yang tergambar di atas pasti akan terus bertambah. Para kader-pelanjut perjuangan—KH Ahmad Dahlan akan terus mengembangkannya.
Jumlah amal usaha seperti itu, yang bergerak di berbagai bidang terutama pendidikan dan kesehatan, jelas itu bukan prestasi kecil. Kesemuanya, menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern terbesar di dunia dan bukan hanya di Indonesia, kata Prof Haedar Nashir pada suatu ketika.
Muhammadiyah, besar dan bermanfaat? Sila cermati catatan Robert W. Hefner dari Boston University atas nilai lebih Muhammadiyah. Dua di antaranya: Pertama, amal sosial dan amal agamisnya bisa menjadi model bagi seluruh dunia.
Kedua, bidang pendidikan yang dirintis dan dikembangkannya melahirkan buah yang meluas ke berbagai bidang, termasuk dalam bidang kesehatan seperti pendirian Rumah Sakit.
“Muhammadiyah merupakan satu-satunya organisasi di dunia ini yang mampu menjalankan amal sosial dan amal agamis yang menjadi model bagi seluruh dunia, tidak hanya bagi kalangan muslim,” tutur Robert W. Hefner (https://suaramuhammadiyah.id 16 April 2021).
Siapa Hefner? Dia, orang Amerika. Dia, selama lebih dari 40 tahun menjadi pengamat Indonesia dan khususnya pengamat umat Islam.
Kaderisasi yang Berhasil
Terang, KH Ahmad Dahlan seorang pengkader yang baik. Bahwa, untuk mengembangkan dan mengelola aset yang tak sedikit seperti tergambar di atas, dibutuhkan sangat banyak kader yang bekerja dengan spirit ketika dahulu Ahmad Dahlan mendirikan serta mengembangbakan Muhammadiyah: “Hidup-hidupkanlah Muhammadiyah dan jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah”.
Banyak kader Ahmad Dahlan yang prestasi dakwahnya tergolong fenomenal. Di titik ini, sebagai pemimpin, Ahmad Dahlan berhasil. Hal ini, karena di antara ciri pemimpin yang berhasil adalah kesuksesannya dalam melahirkan kader-kader yang berprestasi cemerlang, bahkan jika bisa melewati prestasi dari si pemimpin itu sendiri.
Lihatlah, Muhammadiyah yang didirikannya bukan saja masih tegak berdiri, bahkan terus berkembang. Sentuhan dakwah kader Muhammadiyah, bahkan sampai ke mancanegara. Selanjutnya, menarik jika kita ajukan tanya: bagaimana dulu Ahmad Dahlan melakukan kaderisasi?
KH Ahmad Dahlan itu mencerahkan sekaligus menggerakkan. Caranya? Awal, lewat pengajian. Metode kaderisasi ini jelas nonformal. Bahwa, sebelum Muhammadiyah berdiri, Ahmad Dahlan menyelenggarakan pengajian. Agar terkoordinasi dengan baik, “organisasi pengajian” itu diberi nama Fathul Asrar wa Miftahus Sa’adah (FAMS).
Siapa saja peserta pengajian itu, yang di kemudian hari disebut sebagai santri awal Ahmad Dahlan? Mereka, antara lain adalah Abdul Hamid BKN, Sujak, Mochhtar, Wasool Jakfar, dan Hajid.
Terkait metode pengajian yang dikembangkan Ahmad Dahlan di awal-awal, ada yang menarik. Di depan murid-muridnya, Ahmad Dahlan mengajarkan Surah al-Ma’un secara berulang-ulang. Surah itu diajarkan dalam waktu lama, tak pindah-pindah ke topik yang lain.
“Mengapa materi pengajian tidak ditambah-tambah dan hanya mengulang-ulang Surah al-Maun saja,” tanya salah seorang murid.
“Apakah kalian sudah benar-benar mengerti akan maksud Surah al-Maun,” jawab Ahmad Dahlan dengan nada tanya.
“Tidak hanya sekadar paham, tapi kami sudah hafal,” jawab murid-murid.
“Apa sudah diamalkan,” tanya Ahmad Dahlan.
Ahmad Dahlan lalu menjelaskan kepada murid-muridnya bahwa mengamalkan itu bukan sekadar paham dan hafal, tapi apa sudah dipraktikkan dalam wujud nyata. Ahmad Dahlan lalu menggerakkan murid-muridnya untuk mencari orang-orang miskin dan/atau anak yatim yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.
Detilnya seperti apa? Jika sudah bertemu dengan orang miskin dan/atau anak yatim, mereka harus membawanya pulang ke rumah masing-masing. Si miskin dan/atau si yatim itu dimandikan, disabuni, diberi sikat gigi yang baik, diberi pakaian yang baik, diberi makanan dan minuman yang baik, serta disediakan tempat tidur yang baik.
Berikut contoh lain, bahwa Ahmad Dahlan itu sang Penggerak. Suatu saat, Ki Bagus Hadikusumo-seorang Pengurus Muhammadiyah—ditugaskan untuk menghadiri acara Muhammadiyah di Solo. Rupanya, dia ketinggalan kereta api. Lalu, kembali pulang dan melapor kepada Ahmad Dahlan.
“Apa kamu tidak mempunyai kaki untuk berjalan sedemikan rupa bisa sampai ke sana?” Jika ketinggalan kereta api, apa berarti tidak ada cara lain untuk bisa memenuhi tugas,” tanya Ahmad Dahlan bernada nasihat.
Bergegas, Ki Bagus Hadikusumo lalu menyewa mobil dan berangkat menuju Solo. Di sana-bisa diduga—-dia ditunggu banyak orang. Ongkos sewa mobil itu—pun, lalu diganti oleh pihak yang mengundang. Adapun dana pengganti itu, didapat dengan cara gotong royong.
Teruslah Bergerak!
Alhasil, KH Ahmad Dahlan adalah salah satu teladan yang tepat. Dia Sang Penggerak, yang sampai di hari-hari dekat dia akan wafat masih selalu berpikir dan berbuat untuk dakwah. KH Ahmad Dahlan yang tak lelah beramal shalih seperti hendak mendemonstasikan pengamalan secara terus-menerus at-Taubah 105 ini: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu … “. []