Dekat dengan Rezim, Begini Rasanya oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Bukan aliran, manhaj apalagi sekte dalam ber-Muhammadiyah. Ini soal cita-rasa atau taste bagaimana ber-Muhammadiyah sesuai selera. Entah saya ada pada yang mana.
Jangan keliru, di Muhammadiyah pun ada sekelompok yang melarang tertawa. Apalagi pringisan. Ibarat kata, tak ada ruang untuk cengengesan. Sekadar melepas penat setelah urusan berlipat-lipat. Semua serius dan fokus. Tak boleh menoleh meski sebentar.
Pada ’sekte’ inilah Muhammadiyah tak boleh dekat dengan siapapun: dekat dengan rezim dianggap cebong, kafir, zalim, sesat, dan sebutan lain yang semisal. Juga tak boleh dekat dengan ahli bid’ah. Antibudaya dan tak suka tersenyum karena dianggap berserupa atau tasyabuh.
Istiqamah dimaknai kaku, serba letterlijk, sebab bagi sebagian orang, Rasulullah saw tak pernah tersenyum apalagi nyantai. Agama adalah hal yang tak boleh dibuat main-main. Apalagi dibuat lucu-lucuan.
Saya mungkin termasuk Muhammadiyah yang cengengesan. Bahkan sering menertawakan diri sendiri. Menertawakan tentang yang terlihat serius, tapi ternyata juga biasa-biasa saja.
Shalat Subuhnya tetap dua rakaat. Baca Qurannya juga sama. Puasa sunahnya juga jarang-jarang. Meski terlihat serius tapi ngibadah-nya tak jauh beda dengan saya yang cengengesan. Apalagi sedekahnya. Sama. Setali tiga uang: sedikit maksudnya. Alias sami mawon podho wae.
Saya sering masbuq, baca Quran satu rukuk sudah ngantuk, malas menghadiri pengajian ranting dan pura-pura miskin ketika diajak urunan bangun masjid. Tapi pringisan ketika melihat janda cantik. Mungkin ini bawaan sejak lahir.
Sebab itu mungkin saya termasuk orang yang kerap tertawa. Termasuk ketika melihat kelakuan rezim yang kerap bikin geregetan. Bagi saya, rezim adalah ladang amal amar makruf nahy munkar, setidak nya terhadap rezim kelurahan di mana saya tinggal.
Level Ranting
Karena kelas saya hanya selevel ranting, maka saya harus berbaik-baik dengan Pak Lurah, Pak Carik dan syukur bisa akrab dengan para Kaur dan pejabat teras di kelurahan. Sesekali gojekan dengan ibu-ibu PKK yang sedang senam di halaman masjid depan rumah.
Saya sering ngopi dengan Ketua Tanfidz NU yang kebetulan masih kakak misan dan akrab dengan komunitas bantengan teman seangkatan waktu sekolah dasar.
Beragama saya tidak muluk-muluk. Pak Jokowi, Pak Luhut, Pak Anis dan semua perseteruan di tingkat pusat biar diurus sama bapak-bapak Pimpinan Pusat. Saya yang level ranting hanya berusaha agar Muhammadiyah di kampung di mana saya tinggal aman, tidak diganggu dan syukur bisa membantu rezim kelurahan yang kebetulan alumni sekolah Muhammadiyah.
Saya menghadiri resepsi di kelurahan, memberi tausiah pada acara yasinan dan tahlilan. Hadir pada acara kerja bakti dan gugur gunung yang diselenggrakan warga kampung dan kondangan ketika ada tetangga kawin.
Sebagai Ketua Ranting saya sangat dekat dengan rezim. Sering memberi masukan tentang berbagai hal. njagong dan ngopi sampai malam di kantor pusat pemerintahan desa bersama Pak Lurah, Pak Carik dan tokoh-tokoh berpengaruh di desa lainnya. Saya sangat dekat dengan rezim kelurahan. (*)
Editor Sugeng Purwanto