Pentingnya Muhammadiyah Mendirikan Amal Usaha Permakaman, oleh Ahmad Faizin Karimi Ketua Peneliti Faqih Usman Center (FUC), Gresik.
PWMU.CO – Meningkatnya jumlah kematian akibat pandemi Covid-19 berdampak pada percepatan munculnya krisis lahan permakaman. Padahal tanpa adanya pandemi pun, ketersediaan lahan permakaman di kota-kota besar juga sangat terbatas. Krisis lahan permakaman ini perlu mendapat perhatian serius agar tidak menimbulkan masalah sosial sekaligus masalah keagamaan.
Kita bisa melihat bagaimana kondisi permakaman di kota-kota besar—bahkan kota-kota satelit dan sub-urban pun kondisinya hampir sama. Penataan makam yang tidak teratur sekaligus kepadatan makam yang kian mencapai kapasitas maksimal. Apalagi makam-makam yang ada sebelumnya secara kedalaman tidak dirancang untuk pemakaman bertumpuk. Sehingga ketika ada kebutuhan makam, kadang makam yang ada sebelumnya ditumpuk secara serampangan. Belum lagi soal biaya yang muncul di permakaman kota-kota besar.
Krisis Permakaman Menguat
Pada tahun-tahun mendatang krisis lahan permakaman ini akan semakin menguat. Ada beberapa penyebab, pertama adanya peningkatan jumlah kematian akibat pandemi maupun kondisi lingkungan yang makin tidak ramah kesehatan. Kedua, laju pertumbuhan permukiman di perkotaan yang tidak dibarengi dengan pengadaan lahan permakaman. Umumnya perumahan-perumahan baru tidak punya lahan makam sendiri dan akhirnya ‘nunut’ pada makam yang sudah ada dengan memberi konsesi retribusi semata. Padahal lahan permakaman itu juga tidak memiliki ruang kosong yang luas.
Krisis lahan permakaman ini juga berpotensi menimbulkan persoalan sosial. Di perkotaan, banyak warga pendatang yang domisilinya tidak sesuai alamat di KTP. Banyak di antara mereka yang karena bukan menjadi penduduk tetap, kemudian tidak dapat jatah lahan makam di tempat domisili. Sedangkan di tempat tinggal asal bisa jadi juga sudah dianggap pindah karena lamanya tidak tinggal di sana. Bahkan yang menjadi penduduk tetap pun juga bisa tidak punya jatah makam, misal dalam kasus permukiman di lahan kaveling yang penjualnya tidak memiliki kesepakatan lahan makam dengan pihak desa setempat.
Persoalan sosial ini bisa merembet ke persoalan keagamaan, karena kewajiban mengurus jenazah mulai dari memandikan hingga menguburkan bersifat fardu kifayah. Artinya seluruh umat bertanggung jawab jika tidak ada satu pun yang mengatasinya.
Beberapa kasus yang terjadi belakangan menunjukkan urgensi Muhammadiyah ikut membantu mengantisipasi persoalan ini. Kasus seperti penolakan jenazah, kekeliruan tata cara penanganan, hingga kesulitan warga dalam pembiayaan permakaman bisa jadi akan banyak terjadi di masa mendatang.
Amal Usaha Permakaman
Muhammadiyah telah memiliki amal usaha yang membantu manusia menjelang dan selama hidupnya, tapi untuk amal usaha yang memfasilitasi manusia setelah matinya agaknya belum ada. Rumah sakit membantu kelahiran dan pengobatan semaksimal mungkin sampai kematian. Lembaga pendidikan membantu mencerdaskan mulai usia kanak-kanak hingga tua. Begitu pula dengan masjid, panti, hingga koperasi semua membantu urusan kehidupan. Nah, agaknya perlu ada AUM yang mengurusi persoalan kematian.
Selama ini sudah ada layanan penanganan jenazah namun belum memiliki tanah makam tersendiri. Namun melihat potensi krisis lahan makam yang bisa merembet ke persoalan sosial keagamaan sebagaimana diurai di atas, agaknya penting untuk mulai memikirkan hal ini. Modalnya semua sudah ada: petugas ada, kendaraan operasional ada, masjid banyak. Tinggal penyediaan lahan saja, dan ini bukan masalah besar bagi Muhammadiyah. Di setiap daerah pasti ada lahan wakaf maupun milik yang tidak atau belum dimanfaatkan. Khusus yang berlokasi di pinggiran, tidak jarang ukurannya cukup luas.
Dengan memiliki AUM permakaman, maka Muhammadiyah bisa mendorong perbaikan pengelolaan permakaman—khususnya permakaman Islam—yang selama ini terkesan semerawut. Muhammadiyah bisa menjadi pionir pengelolaan makam Islam modern. Bisa dari sisi sistem informasi ketersediaan, penataan lokasi, manajemen SDM, proses pemakaman Islami, hingga layanan psikososial kepada keluarga almarhum.
Mungkin gagasan ini tampak konyol. Tapi bukankah dulu Kiai Sudja’ juga ditertawakan ketika melontarkan gagasan pendirian rumah sakit (ziekenhuis), rumah miskin (armhuis), dan rumah yatim (weeshuis)? Bahkan tidak hanya ditertawakan tapi ada yang menyeletuk: “Itu kan kewajiban pemerintah?”
Jika ada di antara pembaca yang terlontar pertanyaan yang sama atas gagasan AUM pemakaman ini, barangkali jawaban Kiai Sudja’ juga masih relevan: |
“Banyak orang-orang di luar Islam yang sudah berbuat menyelenggarakan rumah-rumah Panti Asuhan untuk memelihara mereka si fakir miskin dan kanak-kanak yatim yang terlantar dengan cara sebaik-baiknya hanya karena terdorong karena rasa kemanusiaan saja, tidak karena merasa bertanggung jawab dalam masyarakat dan bertanggung jawab di sisi Allah kelak di hari kemudian.
Kalau mereka dapat berbuat karena berdasarkan kemanusiaan saja, maka saya heran sekali kalau umat Islam tidak dapat berbuat. Padahal agama Islam adalah agama untuk manusia, bukan untuk khalayak yang lain. Apakah kita bukan manusia? Kalau mereka dapat berbuat, kena apakah kita tidak dapat berbuat? Hum ridjal wa nahnu ridjal.”
Semoga celetukan ini bisa bergulir menjadi wacana di persyarikatan. Syukur-syukur ada yang merealisasikan. By the way, sudah banyak juga loh perusahaan penyedia jasa pemakaman modern non-muslim yang valuasi bisnisnya cukup besar. Jadi, kapan kita bikin?
Editor Mohammad Nurfatoni
Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya dalam buku Membaca Muhammadiyah: Esai-Esai Kritis tentang Persyarikatan, Amal Usaha, dan Gerakan Dakwahnya.