Kisah Perjuangan Alumnus MAM Banyutengah yang Kini Jadi Dosen Unimed, laporan kontributor PWMU.CO Anshori.
PWMU.CO – Jangan menyerah menggapai cita-cita walaupun keadaan sulit. Percayalah Allah SWT telah menyediakan jalan keluarnya, namun kita dituntut bersabar untuk menemukan jalan keluar itu.
Hal itu disampaikan Dr Abdul Ghofur MPd saat menjadi guru tamu di hadapan siswa MTs Muhammadiyah 6 (Matsmunam) dan MA Muhammadiyah 2 Banyutengah Panceng Gresik, Kamis (2/12/21).
Alumnus Perguruan Muhammadiyah Banyutengah yang sekarang menjadi dosen di Universitas Negeri Medan (Unimed), Sumatera Utara, ini mengatakan jangan jadikan masalah keadaan tersebut sebagai penghambat dalam meraih keinginan masa depan.
Gara-Gara Mobil Dinas Diservice
Gara-gara mobil dinasnya masuk bengkel dan diperkirakan butuh waktu sepekan, pria asal Desa Klayar Paciran Lamongan memutuskan mudik. Bosan menunggu dan tidak bisa beraktivitas, dia pun mengunjungi almamater dan bersilaturahmi.
“Ada ikatan batin yang kuat dengan perguruan ini,” ucapnya.
Dengan mengendarai sepeda motor, Ghofur, sapaan akrabnya, keluar-masuk kampung, mengunjungi temannya, bernostalgia, bercerita sambil menikmati sajian makanan ala kampung.
Bercerita Kondisi Keluarga
Ghofur pun bercerita pernah mengalami hal supersulit ketika menempuh proses sekolah, namun ia berhasil melewati kondisi itu dengan happy ending (akhir bahagia).
“Setelah lulus Aliyah, dengan kondisi keluarga tidak mampu, namun keinginan untuk melanjutkan S1 begitu besar. Maka berkat kemauan dan tekat yang kuat serta bantuan gurunya saat itu, saya berhasil mendapatkan beasiswa di Unimed,” jelasnya.
Dia pun menceritakan pengalamannya semasa menyelesaikan pendidikannya. Bagaimana dengan uang Rp 10 ribu, harus pulang dari Jakarta ke kampungnya di pelosok Lamongan.
Kisah Jualan Kacang
Ghofur membeli kacang dengan uang Rp 10 ribu. Lalu kacang itu dijajakan pada penumpang. Berpindah dari satu bus ke bus lain. Dari jurusan Jakarta hingga sampai di kampungnya. Dengan bermodal Rp 10 ribu, bisa makan enak saat di atas kapal penyeberangan Medan-Jakarta.
“Sempat juga membeli segepok rambutan dengan uang Rp 10 ribu lalu ditawarkan pada penumpang yang ada di geladak kapal penyeberangan itu,” ceritanya.
Dia memaparkan kebiasaan saling menawarkan bekal antarpenumpang seperti ini sudah lumrah. Alhasil hanya bermodal kacang dan segepok rambutan, dapat berbagai menu makanan enak, rendang, maupun pecel.
Kehabisan Bakal
Ghofur lalu bercerita bagaimana bertahan hidup selama satu bulan di Medan tanpa memegang serupiah pun, dikarenakan kehabisan bekal.
“Pada saat proses menyelesaikan program S2. Saya mendapat informasi dari teman terkait penerimaan tenaga dosen di Medan. Teman ini sangat berharap, saya bisa mengikutinya. Karena tidak punya bekal, maka terpaksa minta sumbangan dari teman-teman S2,” kenangnya.
Hasil bantingan itu pun, sambungnya, hanya cukup untuk biaya kendaraan, isi pulsa, dan bayar kos saat di medan. Saat di Jakarta, muncul masalah. Kapal penyeberangan harus menunggu tiga hari. Selama itu, Alhamdulillah ada teman yang menawarkan tumpangan di rumahnya.
Traktiran dari Teman
Ghofur pun melanjutkan cerita. Sesampai di Medan, masalah masih ada, belum selesai. Uang jatah makan satu bulan tidak ada. Mau tidak mau, dia berinisiatif menghubungi semua teman di Medan. Alhamdulillah ada satu teman memberikan traktiran makan. Itu dilakukan selama sebulan.
“Hendak menyeberang ke Jawa, masih saja dihadapkan masalah. Tidak ada biaya. Lagi-lagi soal biaya,” tuturnya di hadapan siswa Matsmunam.
Dia pun diajak ke kantor DPRD Medan untuk menghadap ke salah satu anggota yang dikenal untuk minta sumbangan biaya pulang.
“Anak-anakku, keterbatasan biaya jangan sampai menjadikan penghalang untuk meraih cita-cita. Kalian harus memiliki semangat,” katanya.
Tinggal, sambungnya, seberapa kita bersabar menunggu kesempatan itu datang. Tentu tidak hanya menunggu, namun tetap bergerak dan berusaha serta berdoa untuk keluar dari persoalan itu. Ada seribu satu cara keluar dari masalah. (*)
Co-Editor Ichwan Arif. Editor Mohammad Nurfatoni.