Nasionalisme dan Ungkapan Hubbul Wathan minal Iman, oleh Prof Syafiq A. Mughni MA PhD, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
PWMU.CO – Rasa nasionalisme telah ada sejak zaman dahulu kala. Nasionalisme lama diikat oleh kesamaan suku. Orang mencintai sukunya dan memiliki loyalitas yang kuat terhadap kelompok sukunya.
Di Arabia dulu, nasionalisme seperti ini disebut dengan ashabiyah jahiliyah (fanatisme jahiliyah); disebut juga dengan ashabiyah qabaliyah (fanatisme kesukuan).
Pada zaman Nabi dan Khulafa’ Rasyidun, fanatisme tersebut dihilangkan dan diganti dengan loyalitas kepada agama Islam. Tetapi, setelah itu, nasionalisme kesukuan kambuh kembali dengan lahirnya dinasti-dinasti, seperti Amawiyah, Abbasiyah, dan Usmaniyah.
Nasionalisme lama juga muncul dalam bentuk lain, misalnya ikatan agama, bahasa, atau budaya. Nasionalisme tersebut dijunjung tinggi lebih daripada ikatan lain.
Nasionalisme Modern
Nasionalisme modern baru muncul pada abad XVII. Ia pertama kali muncul di Eropa, kemudian menjalar ke benua lainnya. Nasionalisme modern tidak lagi didasarkan atas kelompok yang terikat dengan hubungan darah atau agama, tetapi atas kelompok yang lebih luas.
Nasionalisme modern lebih merupakan produk dari rekayasa sosial daripada perasaan alamiah. Ia lebih merupakan produk propaganda yang diciptakan, ia bergantung pada kesadaran akan tujuan yang sama.
Nasionalisme modern menggunakan kesamaan nasib atau tanah tempat tinggal sebagai pengikat untuk membentuk sebuah bangsa. Indonesia, misalnya, terdiri dari banyak suku, agama, dan bahasa. Tetapi karena sama-sama dijajah oleh Belanda, dan tinggal di wilayah yang berdekatan, maka terbentuklah bangsa Indonesia dengan nasionalismenya (semangat kebangsaannya).
Baca sambungan di halaman 2: Misionaris Butrus Bustani