Fenomena Empat Nol oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
PWMU.CO– Indonesia dikalahkan Thailand 4-0 di leg pertama final Piala AFF Suzuki. Meski tidak mudah untuk mengalahkan Thailand namun dengan digunduli begitu tentu di luar dugaan.
Memang terlihat Indonesia kalah kelas dalam permainan. Gol dicetak pada menit kedua oleh Chanatip Songkrasin. Ia mencetak gol lagi pada menit 52. Gawang Indonesia dibobol lanjutan oleh Supachok dan Bordin Phala.
Ada tiga fenomena menarik dari kekalahan ini.
Pertama, Ketum PSSI Mochamad Irawan atau Iwan Bule dinilai mengganggu konsentrasi pemain dengan video call yang akan masuk ke ruang ganti pakaian pada leg berikut. Efeknya ada netizen yang minta agar Iwan Bule dilengserkan. Iwan dianggap mendahulukan pencitraan diri.
Kedua, perang dukun antara dua tim. Thailand menyiapkan dukun untuk membantu kemenangan. Indonesia demikian juga. Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu) melakukan ritual dan jampi-jampi. Sentralisasi ritual dilaksanakan di Banyuwangi. Samar Wulu nama ritualnya.
Ketiga, janji presiden yang akan memberi bonus 12 miliar kepada pemain jika berhasil memenangkan pertandingan. Tidak jelas duit siapa dan duit apa yang akan diberikan sebagai bonus tersebut. Tidak lazim berjanji seperti ini. Faktanya timnas kalah telak.
Empat nol adalah kenyataan pahit. Meski sesumbar di leg 2 Indonesia akan menang 5-0 pun namun publik tetap pesimistis. Mental pemain nasional tidak terlalu hebat. Alih-alih sukses 5-0 jangan-jangan justru kiper akan sering memungut bola di gawang sendiri.
Fenomena empat nol menguak budaya buruk bangsa yang memalukan yaitu mistis, materialistis, dan egosentris. Mistis dengan perdukunan yang tidak hanya untuk urusan klenik pengobatan, tetapi masuk ke ruang olahraga bahkan politik.
Materialistis dengan presiden yang cuma bisa memotivasi dengan duit, duit, dan duit. Egosentris di kancah kebersamaan sempat-sempat jualan. Ketum PSSI yang berniat melanggar aturan soal kehadiran di ruang ganti dan flyer foto gede kampanye diri.
Empat nol adalah sepakbola gajah. Gajah Thailand yang gagah ngobrak-abrik gajah duduk atau gajah bleduk.
Tapi sebenarnya tidak masalah karena menang kalah itu hal biasa. Kalah 8-0 pun Indonesia pernah. Kini kita berprestasi hanya kalah 4-0. Harapan selalu ada. Yang kelihatan hilang harapan adalah melekatnya budaya mistis, materialistis, dan egosentris itu.
Negara yang dipimpin oleh para figur mistis, materialistis, dan egosentris akan meruntuhkan martabat. Ketum PSSI dan Ketum NKRI perlu penyegaran untuk membangun harapan ke depan. (*)
Bandung, 31 Desember 2021
Editor Sugeng Purwanto