Dilema Wanita Pekerja, kolom oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
PWMU.CO – Wanita yang berkerja di luar rumah sering menghadapi koflik batin yang panjang. Konflik antara dia sebagai pekerja profesional dan sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya. Pengalaman Ny Ainun Habibie mungkin salah satu contoh jelas bagaimana konflik batin itu terjadi. Dia seorang wanita karir yang gemilang. Tapi juga seorang istri dan seorang ibu bagi dua anaknya.
Sebagai seorang dokter berpengalaman ketika di Tanah Air, tidak sulit bagi Bu Ainun mendapat pekerjaan di rumah sakit di Hamburg Jerman. Sebagai tenaga profesional tentu penghasilannya memadahi. Penghasilan yang hampir sama dengan sang suami. Dengan penghasilan dua orang (dia dan Pak Habibie), yang tinggi itu mereka bisa membeli tanah dan rumah di Kakerbeck Jerman.
Namun kegelisahan sebagai seoran ibu sering muncul. Dia berpenghasilan tinggi tetapi anaknya diserahkan kepada pengasuh. “Mereka seperti tidak punya ibu,” keluhnya. Bu Ainun merasa kehilangan kedekatan dengan anak seperti yang diinginkan.
Maka Bu Ainun memutuskan behenti bekerja setelah dua tahun sebagai dokter di rumah sakit Jerman
Dia ingin bisa mengasuh sendiri, membentuk sendiri peribadi anak-anaknya, tidak diserahkan kepada pengasuh. Puncaknya ketika Thariq, anak keduanya sakit. Sakitnya Thariq benar-benar menjadi ganjalan di hatinya. Dia bisa merawat anak-anak di rumah sakit. Tetapi dia seakan lalai dengan anaknya sendiri. Sementara dia sedang mencurahkan perhatian dan merawat anak-anak lain yang sakit, Thariq yang juga sakit di rumah seakan tidak dipedulikan.
Maka Bu Ainun memutuskan behenti bekerja setelah dua tahun sebagai dokter di rumah sakit Jerman. Dia memilih kembali kepada anak-anak dan kelaurga. Dia memilih hidup sederhana dengan mengandalkan gaji suami semata tetapi bisa mengasuh dengan hangat kepada anak-anaknya. Bagi dia tidak ada artinya kebanggaan profesi dan pendapatan yang tinggi jika harus merelakan anaknya hanya mendapatkan sisa waktu dan jauh dari kehangatan seorang ibu.
Keputusan Bu Ainun ini mengispirasi banyak ibu yang memilih berhenti bekerja, termasuk dokter. Mereka mengakui itu keputusan sangat berat. Kadang mereka harus menangis melihat rekannya mencapai karier tinggi. Ada yang studi lanjut ke luar negeri, menjadi guru besar, menjadi diplomat, posisi di bank yang baik.
Semua itu membuat hatinya bergetar karena sebenarnya dirinya bisa mencapai seperti kawan-kawannya itu. Namun semua itu dia sisihkan dan dia korbankan demi kembali ke keluarga dan menjadi ibu. Langkah Bu Ainun menjadi peneguh mereka bahwa jalan yang dipilih adalah jalan yang tepat.
Jalan Kebahagiaan
Apakah berarti wanita yang bekerja di luar rumah itu salah? Di sini tidak ada salah benar. Bekerja di luar rumah atau sebagai ibu rumah tangga adalah pilihan. Jalan yang ditempuh oleh kedua pilihan itu ialah jalan mencari kebahagiaan.
Dalam kenyataan ada bagian kehidupan yang terasa lebih tepat ditangani perempuan. Misalnya pendidika anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak (TK). Anak usia dini yang masih balita lebih lues ditangani perempuan daripada laki-laki. Demikian juga taman kanak-kanak yang anak didiknya berusia 5-7 tahun. Apakah laki-laki tidak bisa? Bisa. Tetapi naluri keibuan tidak dimiliki laki-laki sebesar yang dimiliki seorang perempuan.
Jadi dalam kenyataan ada profesi yang membutuhkan hadirnya seorang wanita. Maka wanita yang bekerja di luar rumah adalah bagian dari memenuhi kebutuhan nyata itu. Bekerja di luar rumah atau di dalam rumah adalah pilihan.
Para wanita bakul yang berjualan di pasar tradisional atau para pekerja di pabrik adalah orang-orang yang berjuang untuk mencukupi kebutuhan ekonomi.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab sorang wanita bekerja di luar rumah. Pertama, eksistensi diri. Ada wanita yang memilih bekeja profesional di luar rumah karena cara itu bagian dari eksistensi dirinya. Dengan cara itu dia membuktikan dirinya mampu melakuan sesuatu yang bermanfaar kepada orang lain atau kepada masyarakatnya. Dia bisa membuktikan bahwa dalam dirinya ada sesuatu yang patut dihargai. Dengan cara itu merasa hidupnya jadi lebih bermakna. Juga merasa status sosialnya bertambah.
Kedua, ekonomi. Cukup banyak wanita yang bekerja di luar rumah karena didorong kebutuhan ekonomi. Dia harus membantu suami untuk menambah penghasilan karena penghasilan suami tidak mencukupi.
Para wanita bakul yang berjualan di pasar tradisional atau para pekerja di pabrik adalah orang-orang yang berjuang untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Apalagi mereka yang kebetulan menjadi orangtua tunggal. Atau suami sedang terbaring sakit tidak berdaya. Dia menjadi tulang punggung keluarga. Kalau dia tidak bekerja, dari mana sumber ekonomi untuk keluarga?
Suka atau tidak suka, rela atau tidak rela mereka harus bekerja yang bisa memberikan penghasilan. Kebutuhan keluarga adalah kebutuhan yang tidak bisa ditunda. Apalagi jika dia mempunyai kemampuan professional sesuai dengan ilmu yang dimiliki. Maka kemampuan itu dia manfaatkan.
Jangan dibayangkan kaum wanita hanya bisa bekerja pada lapangan yang lembut. Sekarang banyak wanita mampu terjun dalam lapangan yang dulu seakan hanya bisa dilakukan laki-laki. Mulai menjadi satpam, polisi yang menghadapi demontrasi mahasiswa, pilot, ojek online, sopir taksi bahkan ada yang berani menjadi supir truk besar.
Satpam perempuan bisa bergantian dengan satpam laki-laki ketika waktu shalat Jumat. Di Iran, negara para mullah, saya melihat banyak wanita dengan busana Muslimah yang anggun menjadi sopir taksi. Penumpangnya khusus wanita. Tidak mau melayani laki-laki.
Kembali ke Fitrah Agama
Bekerja di luar rumah atau di dalam rumah adalah pilihan. Itulah jalan yang diyakini masing-masing bisa menemukan kebahagiaan. Islam memberi kebebasan untuk memilih. Kemuliaan tidak terletak pada pilihan, tetapi pada kemmpuan menjaga ketentuan syariah dari masing-masing pilihan itu. Jangan pernah menganggap bekerja di luar rumah lebih mulia dan bergengsi karena bisa menghasilkan uang.
Tidak! Memilih menjadi ibu rumah tangga juga melakukan tugas sangat mulia diseretai pengorbanan besar. Dengan jam kerja nyaris tanpa istirahat. Yang diberikan adalah cinta sepernuhnya kepada keluarga tanpa ada gangguan apapun. Yang bekerja di luar rumah juga jangan dianggap tidak memberikan kasih sayang yang cukup. Mereka berusaha menjaga kualitas pertemuan. Tiap orang punya cara sendiri untuk menjaga pertemuan bisa berkualitas. Apalagi sekarang banyak alat komunikasi sehingga ibu yang bekerja diluar rumah tetap bisa berkomukasi langsung dengan anggota keluarga. Namun bertemu langsung secara fisik memang tetap berbeda dengan lewat udara.
Tiga Hal yang Harus Dipegang Teguh
Seorang wanita adalah seorang istri sekaligus seorang ibu. Sebagai seorang istri dia diikat dengan ketentuan syar’i. Sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang harus dipegang teguh seorang istri shalehah. Hadits diriwayatkan at-Thabrani menyatakan pesan Rasulullah:
“Istri yang paling baik ialah yang membahagiakanmu jika kamu memandangnya. Mematuhimu bila kamu menyuruhnya. Dan memelihara kehormatan dirinya dan hartamu bila kamu tidak ada. (HR Thabrani).
Menyejukkan Suami
Pertama, apabila dipandang menyenangkan bagi suami. Artinya istri adalah sumber ketenteraman hati suami. Rumah tempat tinggal ibarat pelabuhan yang teduh. Di luar, suami ibarat perahu yang berada di lautan. Mungkin ada gelomban besar dan angin besar yang menggoncang perahu itu. Ada ucapan kasar, tatapan tajam yang menyakitkan. Namun ketika sampai di rumah, maka ibarat perahu telah sampai di pelabuhan yang teduh. Tidak ada lagi kata-kata kasar, ucapan yang menyakitkan dan tatapan kemarahan. Semua terasa menyejukkan.
Istrilah yang menjadi arsitek rumah tangga yang damai dan sakinah. Memang harus didukung semua pihak terutama suami. Tetapi istri adalah konseptor utamanya. Istri itu arsitek besarnya. Maka ketika istri bekerja di luar rumah, kewajiban itu tidak gugur. Dia harus tetap menjadi sumber ketenteraman. Tidak boleh alasan capek. Juga tidak boleh menghindar karena sudah sama-sama punya penghasilan.
Ingatlah Ibu Khadijah. Ketika Rasululah mendapat wahyu pertama, beliau pulang dengan badan gemetar. Lalu dia menyelimutinya. Khadijah tidak hanya menyelimuti tubuh Nabi, tetapi juga menyelimuti hati Nabi hingga hati beliau tenteram. Khadijah mencari informasi kepada Waraqah, pamannya. Khadijah menghibur Rasulullah dengan mengatakan tidak akan ada yang buruk menimpa beliau karena beliau orang yang gemar sedekah dan gemar silaturahmi.
Suami Imam Keluarga
Kedua, kalau diperintah suami (pada kebaikan) istri itu patuh. Artinya dalam keluarga yang menjadi iman adalah suami. Tidak boleh istri merasa menjdi imam hanya karena sama-sama bekerja. Bahkan sekalipun penghasilan istri lebih besar daripada suami. Imam dalam keluarga tetap suami. Jangan terjadi ada barisan suami-suami takut istri. Yang harus segera diingat ialah bahwa imam yang baik selalu mengutamakan musyawarah. Tidak otoriter. Tidak merasa sok kuasa.
Rasulullah menyatakan bahwa suami yang baik ialah yang paling lembut dan dan paling baik sikapnya kepada keluarganya, kepada istri dan anak-anaknya. “Dan aku paling lembut dan paling baik kepada kelaurgaku. Seorang suami tidak bisa memuliakan wanita kecuali dia memang laki-laki yang mulia. Dan tidak ada laki-laki yang merendahkan wanita kecuali dia memang laki-laki yang rendah. Demikian pesan Rasulullah.
Pesan Rasulullah ini indah sekali. Ukuran kemuliaan seorang laki-laki bukan pada pendidikannya, penghasilannmya, pekerjaannya, keturunannya. Tetapi kemuliaan laki-laki diukur dengan sikapnya kepada istrinya atau kepada wanita. Hanya laki-laki mulia yang bisa memuliakan wanita. Dan hanya laki-laki rendah yang merendahkan wanita. Meskipun mungkin laki-laki itu berpendidikan baik. punya pekerjaan baik dan dari keturunan keluarga yang baik. Tapi kalau merendahkan wanita dia laki-laki rendah.
Menjaga Harta dan Kehormatan
Ketiga: dia bisa menjaga harta kekayaan dan menjaga kehormatan diri terutama ketika suami tidak ada disisinya.
Pesan ini menegaskan bahwa istri berperan besar mengendalikan dan mengatur keuangan keluarga. Meskipun uang itu hasil dari keringat suami, tetapi istri harus dipercaya bisa menjaga dengan baik keuangan keluarga. Kantong suami itu sering bolong sehingga mudah habis. Tangannya terbuka seperti pesilat. Sedang istri tangannya menggenggam seperti petinju. Penghasilan yang diperoleh suami sebenarnya adalah rezeki dari Allah untuk seluruh keluarga yang dilewatkan melalui suami.
Maka suami tidak boleh sombong hanya karena uang itu hasil kerjanya. Suami hanya dilewati. Demikian juga jika seorang istri punya penghasilan besar, maka sesungguhnya istri itu hanya dijadikan jalan oleh Allah untuk memberi rezeki kepada seluruh anggota keluarganya.
Bagi wanita yang bekerja di luar rumah pesan ini sangat penting karena godaan kehormatan diri yang mereka hadapi lebih berat.
Pesan Nabi itu juga mengharuskan wanita bisa menjaga kehormatan dirinya. Terutama ketika sang suami tidak ada di dekatnya. Bagi wanita yang bekerja di luar rumah pesan ini sangat penting karena godaan kehormatan diri yang mereka hadapi lebih berat. Ada banyak cara yang bisa dilakukan laki-laki untuk mengganggu kehormaan diri seorang wanita. Dengan kelicikan, rayuan, iming-iming, dan ancaman laki-laki mencoba menggoda wanita.
Tetapi kunci keberhasilan godaan itu ada pada wanita. Jika wanita dengan tegas selalu bilang “no” dengan segala risiko, maka usaha laki-laki akan gagal. Ketika al-Quran bicara tentang perzinaan, al-Quran menyebut pezina wanita lebih dahulu baru pezina laki-laki. “Az zaniatu waz zani” (pezina perempun dan pezina laki-laki) . Sedangkan dalam hal pencurian atau korupsi al-Quran menyebut laki-laki lebih dulu. “Asy syariqu was syariqatu” (Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan)
Para suami yang telah memberi izin kepada istri untuk bekerja hendaklah menyadari bahwa istri menjalani beban yang berat. Maka suami tidak boleh menuntut macam-macam yang membuat beban istri semakin berat. Sebaliknya istri yang diberi izin bekerja di luar rumah jangan dijadikan alasan untuk mengabaikan tugas-tugas sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya. Ibu adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni