Nepotisme Es Doger oleh Daniel Mohammad Rosyid, pendiri Rosyid College of Arts dan Guru Besar ITS.
PWMU.CO– Setelah mengumpulkan berbagai data dan menelitinya, serta berbicara dengan beberapa pakar, seorang dosen aktivis asal Universitas Negeri Jakarta berusia 50 tahun memutuskan kasus itu harus dibawa ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Nuraninya terusik dengan skala korupsi nepotis yang ditemukannya. Ada beberapa bukti valid awal yang meyakinkannya bahwa telah terjadi suap dan pencucian uang yang dilakukan oleh keluarga pejabat tinggi.
Terjadi perdagangan pengaruh antara pejabat dengan pengusaha, lalu pencucian uang oleh anak pejabat tersebut melalui berbagai start up business yang dimiliki anak pejabat tersebut.
40 tahun silam hal serupa terjadi melibatkan keluarga Soeharto. Lalu Kunio Yoshihara menulis buku tentang Ersatz Capitalism (Kapitalisme Semu) di Asia Tenggara (1990).
Kunio menjelaskan, untuk mengimbangi kekuatan ekonomi kelompok China di Indonesia, Soeharto telah mengambil keputusan untuk mengarbit pengusaha-pengusaha pribumi dengan memberikan berbagai fasilitas dan kemudahan bagi pribumi tertentu untuk mengembangkan bisnis yang mampu mengimbangi para klongomerat China di Indonesia.
Langkah Soeharto ini kemudian terbukti kebablasan sehingga berkembang menjadi nepotisme di mana anak-anaknya mulai mengembangkan gurita bisnis di berbagai sektor. Dari hulu sampai hilir. Dari jalan tol, sampai cengkih serta mobil nasional.
Anak pejabat tentu boleh buka bisnis lalu kaya dari bisnisnya. Modus kapitalisme semu era digital ini tentu berbeda dengan kapitalisme era Soeharto. Di bawah slogan start-ups dan model bisnis era internet ini, valuasi perusahaan bisnis baru memang bisa meningkat tajam jauh lebih cepat dibanding era sebelum internet.
Gojek yang baru berumur kurang dari 10 tahun misalnya kini memiliki valuasi yang jauh lebih besar daripada Garuda Indonesia yang sudah ada sejak Orde Lama.
Membuka beberapa gerai es doger serta menjualnya secara hybrid mungkin berhasil mencetak laba luar biasa lalu bisa menarik investor untuk ikut memiliki saham bisnis es doger itu. Mungkin investor tertentu berani membeli saham bernilai mendekati seratus miliar rupiah atas bisnis es doger ini.
Namun jika ayah investor ini juga pemilik perusahaan yang sudah terbukti bersalah di pengadilan dalam kasus pembakaran hutan, lalu diangkat menjadi duta besar tanpa kompetensi dan rekam jejak diplomat yang jelas, sulit menolak kesan bahwa terjadi perdagangan pengaruh oleh pejabat tinggi serta pencucian uang melalui bisnis anak pejabat tersebut. Ini nepotisme es doger.
Ubedillah Badrun, dosen UNJ itu, telah mengambil langkah berani. Kita tunggu respons KPK atas laporannya ini. KPK akan berada dalam posisi maju kena mundur kena. Mundur akan semakin kehilangan kepercayaan masyarakat, maju akan berhadapan dengan tembok jaringan kekuasan yang rumit, serta mungkin mematikan. Apalagi pengawas KPK kini adalah tokoh eks Kopassus yang sangat berpengaruh yang sering sibuk mengurusi hampir semua urusan kecuali yang tidak menguntungkan.
Pada saat Ubedillah Badrun harus menghadapi intimidasi dari berbagai pihak, kita yang masih waras harus memutuskan berdiri di belakangnya untuk mengembalikan amanat reformasi yang segera setelah dicetuskan langsung dikhianati.
Kasus ini adalah bukti terbaru kebangkitan nepotisme dan korupsi yang dulu menjatuhkan rezim Orde Baru. Ubedillah dkk aktivis 1998 harus belajar juga dari reformasi yang sesat jalan ini. Jika sejarah hanya pengulangan skenario yang sama tapi oleh tokoh yang berbeda, maka mungkin Faisal Basri benar bahwa rezim ini akan jatuh tidak lama lagi. Jika kita tidak belajar dari sejarah, maka sejarah akan mengajari kita dengan keras.
Editor Sugeng Purwanto