PWMU.CO. Tolak Penundaan Pemilu 2024. Tema “profokatif” ini mampu memantik peserta diskusi publik yang diselenggarakan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sabtu (26/2/2022).
“Saya mohon maaf, tidak bisa menyalakan kamera, karena on the way ke rumah sakit memeriksakan anak,” begitu sapaan awal, Arya Fernandes, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Indonesia, selaku pemateri sesi kedua.
Secara vulgar, Arya menyoroti alasan kelompok yang setuju terhadap perpanjangan masa jabatan, dengan alasan stagnasi ekonomi. “Itu jelas sama sekali enggak rasional atau enggak masuk akal ya, kenapa? Karena kalau kita lihat berdasarkan data-data ekonomi, justru sekarang ekonomi kita sedang tumbuh dan membaik. Dibandingkan tahun 2020 ketika itu pertumbuhan ekonomi kita itu – 2,07 persen , sementara pada tahun 2021 pertumbuhan ekonomi kita tumbuh + 3,39 persen. Jadi kita berhasil tumbuh dari minus 2 menjadi 3,3persen di tahun 2021. Artinya, ekonomi kita sedang membaik dan sedang bertumbuh,” ungkap aktivis yang giat melakukan survei sejak tahun 2009 ini.
Bahkan, menurut Arya, bila mengacu data resmi yang dilansir oleh lembaga-lembaga negara, semisal yang di langsir oleh Bank Indonesia, memprediksi bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh di kisaran 4,7 sampai 5,5 persen pada tahun 2022.
“Artinya penggunaan alasan ekonomi untuk mendorong perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu, jelas tidak masuk akal atau kurang logis, karena justru sekarang pertumbuhan ekonomi kita sudah membaik dan mungkin di tahun 2023, 2024, kata berbagai ekonom, kita bisa tumbuh di atas 6 persen,” tegas Arya.
Soal kepuasan publik yang dijadikan alasan kedua, untuk penundaan pemilu, Arya beragumen, bahwa itu juga tidak logis. Kenapa tidak logis?
“Dalam ilmu-ilmu sosial itu biasanya untuk mengecek bagaimana pendapat populasi atau pendapat masyarakat umum secara luas itu digunakan survei opini publik yang representative jadi dia mengambil sampel dari populasi di seluruh Indonesia dengan pendekatan propabilitas di mana setiap individu di populasi itu punya kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai responden, Survei-survei yang representatif tu dianggap dapat mewakili pendapat seluruh warga masyarakat di Indonesia,” paparnya.
Arya memberikan bukti, semisal mengacu pada survei opini publik yang dilakukan oleh indikator politik pada September 2021 dan Desember 2021 itu menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di atas 70 persen masyarakat itu tidak setuju terhadap perpanjangan masa jabatan presiden atau masyarakat tetap menginginkan bahwa jabatan presiden itu hanya 10 tahun
“Ya, ini mayoritas masyarakat berdasarkan survei indikator itu menunjukkan bahwa sebagian besar populasi di atas 70 persen menolak adanya perpanjangan masa jabatan presiden,” tandas pria yang pernah aktif di Research Manager di Charta Politika Indonesia, sebuah firma riset dan konsultasi politik
Arya juga menambahkan, indikator juga melakukan survei, mereka wawancarai kelompok elit yang terdiri dari akademisi, wartawan, pengamat kebijakan, civil society, hasilnya justru penolakan elit tersebut, terhadap wacana perpanjangan masa jabatan lebih tinggi lagi sekitar 90 persen atau 93 persen kelompok ini menolak perpanjangan masa jabatan.
“Penggunaan alasan kepuasan publik untuk mendorong perpanjangan masa jabatan itu jelas tidak masuk akal tidak berdasarkan bukti ya karena buktinya berdasarkan survei-survei tersebut, mayoritas publik justru tidak menginginkan adanya perpanjangan masa jabatan,” pungkas lulusan Pascasarjana, Komunikasi Politik Paramadina, Universitas Paramadina, ini. (*)
Penulis: Mohamad Su’ud Editor Mohammad Nurfatoni