Pakaian Sunnah Rasulullah ternyata Begini oleh Dr Aji Damanuri, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung dan dosen IAIN Ponorogo.
PWMU.CO– Meski pakaian sunnah adalah isu lama tapi perkembangan fashion muslim dengan embel-embel syariah terus merangsek naik seiring dengan bisnis digital yang sedang booming. Hijab, gamis, baju yang semua serba syar’i.
Bahkan ada kelompok tertentu yang menganggap pakaiannya lebih nyunnah (sesuai sunnah) dibanding yang lain. Maka mereka berbangga-bangga memamerkan pakaiannya di semua keadaan dan kesempatan sampai terlihat lusuh.
Pakaian memang menunjukkan identitas karena memang lahir dari budaya masyarakat yang biasanya dipengaruhi oleh trend, musim, geografis, fungsi, dan ideologi. Maka tidak heran jika model pakaian suku Eskimo berbeda dengan suku Badui Arab karena perbedaan geografis, iklim dan musim.
Pakaian Jawa berbeda dengan Dayak karena berbeda adat. Baju untuk bekerja di sawah berbeda dengan pegawai bank. Secara teknis kesamaan pakaian tersebut adalah menutupi badan karena berbagai alasan tadi. Secara ideologis sebagai muslim ya menutup aurat.
Lalu bagaimana sebenarnya pakaian Rasulullah saw? Apakah gamis seperti orang Pakistan dan India? Jubah seperti kebanyakan masyarakat Arab? Ataukah koko seperti kebanyakan orang Cina?
Warna Pakaian Kesukaan Nabi
Jujur, dulu saya menyangka pakaian Rasulullah itu selalu putih dan bermodel Arab. Namun setelah membaca kitab as Syamailul al Muhammadiyah karya Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi ternyata warna dan model pakaian Rasulullah bermacam-macam.
Warna pakaian yang disukai Rasulullah saw adalah merah. Bahkan untuk shalat berjamaah. Para sahabat memuji terlihat sangat tampan dan berkilau ketika mengenakan pakaian warna merah. Namun Rasulullah saw menasihati para sahabat untuk memakai pakaian warna putih karena lebih suci dan lebih baik, juga untuk mengafani mayat.
Rasulullah juga pernah menggunakan selimut warna hijau. Muhammad bin Sirin, sahabat Rasulullah saw menyukai pakaian warna merah tanah. Penutup kepala (surban) Rasulullah saw berwarna hitam. Ada kalanya Rasulullah saw keluar rumah mengenakan pakaian terbuat dari bulu berwarna hitam.
Jenis kain yang disukai adalah katun dari Yaman. Sedangkan model pakaian yang biasa dikenakan bukan jubah seperti orang Arab namun gamis yang berkancing dan berlengan panjang.
Pernah suatu ketika Rasulullah saw mengenakan pakaian jubah Romawi yang lengannya sempit sehingga ketika wudhu harus mengeluarkan tangannya pada lubang di bawah bajunya kemudian shalat dengan pakaian tersebut.
Pada kesempatan lain Rasulullah saw menerima hadiah sepatu berwarna hitam dan jubah dari Raja Najasyi. Beliau memakainya hingga rusak. Sedangkan baju perang Rasulullah saw adalah baju besi yang dilengkapi dengan helm besi pula. Dalam kesehariannya Rasulullah saw suka memakai sarung. Bahkan sampai tampak lusuh saking lamanya dipakai.
Cara berpakaian Rasulullah saw terlihat sangat moderat. Mulai warna, model, dan kegunaan. Meskipun warna merah sangat disukai namun Rasulullah saw juga mau memakai warna lain dan membiarkan sahabatnya menggunakan warna kesukaanya.
Begitu juga dengan model pakaian. Meskipun yang sangat disukai adalah baju gamis namun model Persia dan Najasy juga dipakainya bahkan untuk beribadah.
Pakaian Sunnah
Rasulullah SAW juga tahu situasi dan kondisi dalam berpakaian. Ketika musim dingin memakai model wol dari kulit hewan. Ketika perang -meskipun seorang nabi- tetap memakai pelindung baju besi. Artinya, model pakaian disesuaikan dengan situasi, musim, dan aktivitas yang dilakukan.
Dengan demikian, semua warna dan model pakaian yang dikenakan oleh Rasulullah saw secara substansi terkait kecenderungan pribadi dan kegunaannya adalah sunnah yang mestinya tidak direduksi dengan jenis warna dan model pakaian tertentu apalagi dianggap paling sesuai sunnah.
Kitab-kitab fikih secara umum lebih detail membahas batas aurat sebagai aturan umum. Sedangkan warna dan model pakaian diserahkan pada tradisi dan kecenderungan pribadi kecuali terkait ritual yang ditetapkan seperti kain kafan dan ibadah haji. Meskipun dalam kondisi tertentu warna dan jenis kain kafan juga fleksibel.
Berbagai model pakaian berbasis budaya selama menutup aurat, tidak berlebih-lebihan, dan sopan tentu juga sesuai sunnah. Kiai Dahlan pendiri Muhammadiyah dalam kesehariannya lebih suka memakai pakaian adat Jawa lengkap dengan jarik batik. Sedangkan Kiai Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama lebih sering memakai jubah lengkap dengan surban penutup kepala. Keduanya menampilkan busana yang pada masanya dianggap sopan, baik, dan layak dipakai sebagai seorang tokoh dan panutan.
Trend pakaian syar’i yang secara teknis menutup aurat sebenarnya juga merupakan trend budaya fashion yang mengikuti perkembangan zaman, namun jika berlebih-lebihan, tampak glamour dan sombong, maka terkena batasan israf yang juga dilarang dalam Islam.
Begitu pula sebaliknya memakai pakaian menutup aurat tapi ketat dan menunjukkan lekukan tubuh juga bentuk berlebih-lebihan yang dilarang.
Jadi, jangan suka mengklaim model pakaian tertentu lebih sunnah dari yang lain apalagi hanya mendasarkan para model budaya bangsa lain. Islam lahir bukan hanya untuk bangsa dan suku tertentu tetapi untuk umat manusia seluruh dunia dengan berbagai budaya berbusana yang dimilikinya. Oleh karena itu yang diatur adalah batasan aurat, kepatutan, dan jauh terhindar dari sifat israf. (*)
Editor Sugeng Purwanto