
Muhammadiyah dan Politik: Belajar pada Ibnu Khaldun; Oleh Dr Aji Damanuri MEI, dosen FEBI IAIN Ponorogo, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
PWMU.CO – Meskipun sudah melalui berbagai pergumulan politik baik lokal maupun nasional namun tampaknya warga Muhammadiyah masih cukup gagap menghadapi dinamika politik praktis yang sering kali culas. Boleh jadi karena warga selalu berpikir positif dan tidak membayangkan akan seruwet itu dunia politik.
Agenda penting yang sampai saat ini tetap aktual dilakukan adalah merumuskan konsep politik Muhammadiyah. Yaitu semacam frame work yang dapat dijadikan patokan dan acuan perilaku Muhammadiyah dalam menentukan posisinya di tengah konstelasi politik nasional, terutama menghadapi kontestasi politik legislatif dan pilihan presiden ke depan.
Posisi dan sikap lembaga ini amat sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga netralitas politik Muhammadiyah dan untuk menjamin terakomodasinya kepentingan politik Muhammadiyah yang perperspektif keumatan dan kebangsaan, yang diridhai Allah SWT.
“Hal yang harus diwaspadai, apabila sikapnya dalam menjaga jarak dari politik praktis justru dijadikan kesempatan bagi partai politik yang berkuasa untuk menempelkan kepentingan politiknya pada Muhammadiyah.”
Kondisi semacam itu sangat dibutuhkan Muhammadiyah agar sikap amar makruf nahi mungkar benar-benar mampu menjadi sikap etis yang menjiwai seluruh kegiatan amal usahanya. Sebab, sebuah sikap etis membutuhkan keberanian moral untuk mengambil sikap secara objektif dari wilayah yang relatif independen dan netral dari intervensi kekuasaan dan kepentingan politik lainnya.
Dengan demikian, keterlibatan Muhammadiyah dalam pembangunan akan lebih memiliki nuansa kreatif dan progresif dengan semakin banyaknya sikap-sikap alternatif bagi pengembangan dimensi etis dalam pembangunan.
Hal yang harus diwaspadai, apabila sikapnya dalam menjaga jarak dari politik praktis justru dijadikan kesempatan bagi partai politik yang berkuasa untuk menempelkan kepentingan politiknya pada Muhammadiyah. Untuk itu Muhammadiyah perlu secara cerdik memanfaatkan kondisi ini guna menyampaikan aspirasinya yang terkait pembangunan dan kemaslahatan umat.
Masih dipakainya lobi-lobi informal dalam menyalurkan aspirasi politiknya, mengindikasikan derajat efektivitasnya dalam menyalurkan kepentingan Muhammadiyah. Secara eksplisit Muhammadiyah harus berani mengembangkan sikap kritis agar netralitas politiknya tidak justru dipakai sebagai alat kepentingan sementara pihak.
Baca sambungan di halaman 2: Belajar pada Ibnu Khaldun