Seperti Kun Fayakun: Menulis, maka Menulislah!, oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO
PWMU.CO – Judul tersebut, sengaja saya pilih karena mengandung dua kategori, yaitu kategori motivasi dan kategori proses. Keduanya akan menunjukkan bahwa menulis itu penting sekaligus mudah bagi Anda.
Jika berangkat dari kategori motivasi, “Menulis, maka Menulislah!”, saya maksudkan sebagai kalimat ajakan kepada Anda agar termotivasi untuk menulis. Mengapa ketrampilan menulis perlu Anda miliki? Paling tidak ada empat alasan yang bisa saya jelaskan.
Pertama, dengan menulis, Anda bisa menuangkan curhat, gagasan, ide, atau nilai dengan lebih leluasa dan terkontrol. Leluasa karena Anda bisa mengeksplorasi gagasan Anda, lengkap dengan data dan kutipan pendukung.
Gagasan Anda juga terkontrol, karena sebelum tulisan Anda termuat dan tersebar, Anda bisa membaca ulang untuk bisa melakukan proses editing. Belum lagi jika tulisan Anda di-edit atau disensor oleh pihak penerbit (untuk yang terakhir sisi negatifnya jika proses sensor yang dilakukan terlalu mengebiri bahkan membunuh substansi tulisan). Keleluasaan dan keterkontrolan ini bisa Anda bandingkan dengan penyampaian gagasan secara lisan, yang lebih banyak mengandalkan spontanitas.
Kedua, dengan tulisan, sebuah gagasan Anda menjadi lebih luas. Tentu saja, yang saya maksud tulisan dalam hal ini adalah tulisan yang disebarluaskan, baik melalui media cetak, buku, atau selebaran—kini juga internet dengan web, blog, Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram—bukan tulisan yang disimpan rapat-rapat di laci.
Jadi dengan hanya berada di rumah, gagasan Anda sudah dibaca ribuan, bahkan ratusan ribu atau jutaan orang. Anda, dengan demikian bisa memengaruhi banyak orang cukup dengan memainkan (otak dan) jari-jari Anda di mesin tulis. Bandingkan dengan penyampaian secara lisan. Berapa energi yang harus Anda (atau panitia) keluarkan untuk memobilisasi ribuan orang dalam rangka mendengar ceramah Anda.
Jejak Digital Abadi
Ketiga, gagasan yang Anda tulis dan tersebar tersebut akan terdokumentasi cukup lama. Berapa lembaga ilmiah yang akan mendokumentasikan tulisan-tulisan Anda yang termuat di koran, majalah, jurnal, atau internet dengan jejak digitalnya yang ‘abadi’ .
Jika Anda menulis buku, berapa perpustakaan yang akan mengoleksinya. Dengan terdokumentasinya tulisan tersebut, maka gagasan Anda akan melintasi zamannya dan akan menjumpai generasi-generasi sesudah Anda. Jika Anda menulis di web, tulisan Anda akan viral, menyebarluas tanpa bisa dibendung. Jika Anda telah menghapusnya, bisa dipastikan orang lain sudah mencopasnya, atau mendownloadnya.
Tak heran jika saat ini kita masih bisa “on line-berdiskusi” dengan Imam Syafi’i, Imam Al Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Muhammad Iqbal, Abul A’la Al Maududi, Ali Syariati, Said Hawwa, A. Hasan, Buya Hamka, atau Nurcholish Madjid, lewat tulisan-tulisannya. Padahal, mereka telah lama meninggalkan kita. Jadi, tulisan adalah jejak sejarah yang paling berharga.
Keempat, dengan menulis Anda bisa melakukan banyak hal. Bukankah membuat proposal, menulis laporan, menulis hak jawab di media memerlukan ketrampilan menulis? Bahkan curhat masa kini juga memerlukan ketrampilan menulis.
Baca sambungan di halaman 2: Menulis Itu Proses