Perbedaan Awal Puasa, Din Syamsuddin: Tak Perlu Dipertentangkan, liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah.
PWMU.CO – Prof KH M Din Syamsuddin MA PhD di hadapan Orbiters—jamaah pengajian dari kalangan artis, akademisi, maupun aktivis—menerangkan, “Insyaallah kita akan memulai malam Ramadhan pada tanggal 1 April, berpuasa pada tanggal 2 April.”
Pembina Kajian Virtual Orbit itu menekankan, menurut rukyat bil aqli, pada Jumat, 29 Sya’ban 1443 H (1 April 2022 M) siang pukul 13.27.13 WIB sudah terjadi ijtima konjungsi bumi, bulan, dan matahari pada garis lurus ekliptika.
Rukyat bil aqli mendasarkan perhitungannya pada ‘penglihatan’ akal pikiran yang menyandarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. “Pada hari itu, waktu matahari terbenam, bulan berada pada ketinggian sekitar dua derajat di atas ufuk,” imbuh Prof Din.
Tiga Kriteria Pendekatan Muhammadiyah
Kemudian, dia menerangkan, ada tiga kriteria menurut pendekatan Muhammadiyah. Pertama, ijtima. “Ini pertanda bulan lama segera berakhir, pertanda akhir bulan Sya’ban,” terangnya.
Kata Prof Din, pendapat yang ekstrim menyatakan malam itu sudah jelas malam 1 Ramadhan. Namun, pendekatan Muhammadiyah masih menambah dengan dua kriteria lainnya. Kriteria kedua, ijtima terjadi sebelum matahari terbenam.
Dia mengungkap, “Hampir semua almanak kalender astronomi atau falakiah di kalangan umat Islam menyepakatinya. Di Indonesia banyak yang mengeluarkan almanak. Ormas-ormas Islam, termasuk Asosiasi Astronom Muslim Sedunia itu rata-rata perhitungannya eksak.”
Kriteria ketiga, ketika matahari terbenam, sore tanggal 1 April, bulan belum terbenam. “Matahari terbenam terlebih dahulu, bulan bertengger di atas ufuk. Berapapun derajatnya, dua, satu, bahkan setengah derajat,” tegasnya.
Kontroversi
Ini yang sering menimbulkan kontroversi. Dia menduga, “Untuk tahun ini, diduga akan ada perbedaan pendapat. Karena ketinggian bulan waktu matahari terbenam pada 1 April hanya setinggi dua derajat.”
Maka, lanjut Prof Din, yang menggunakan pendekatan rukyat bil aini (dengan mata kepala) mungkin tidak dapat melihatnya. Termasuk dengan alat, apalagi jika peralatannya kurang canggih.
Mereka menggunakan hadits: “Berpuasalah dengan rukyah dan berbukalah nanti bulan Syawal dengan rukyah. Jika tidak dapat dilihat (terkendala kena mendung), maka sempurnakanlah bilangan bulat Sya’ban 30 hari.”
Kata Prof Din, menurut ahli hadits, hal ini terjadi pada masa Rasulullah SAW yang belum berkembang ilmu pengetahuan Falakh berbasis Fisika, Matematika, dan Astronomi. Tapi ketika ilmu pengetahuan sudah berkembang dan dapat melihat secara ilmiah, maka terhitung memasuki bulan suci Ramadhan.
Baca sambungan di halaman 2: Beda Hadits