Takwa, antara Cinta dan Takut, liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah.
PWMU.CO – Dimensi rasa cinta dan takut pada orang bertakwa diungkap Ustadz H Arifin Jayadiningrat Lc MA pada Pengajian Virtual Orbit binaan Prof KH M Din Syamsuddin MA PhD, Kamis (10/3/22) malam.
Mulanya, lulusan Universitas al-Azhar itu mengungkap mengapa redaksi antara iman dan takwa dalam al-Quran selalu terpisah. “Orang beriman belum tentu bertakwa, (sedangkan) insyaallah orang bertakwa itu orang beriman yang sebenar-benarnya,” terangnya.
Kognitif Vs Afektif
Menurut Ustadz Arifin—panggilan akrabnya—manusia yang melakukan ritual puasa sebagai seremoni formalistik, hanya menggunakan pendekatan kognitif. Mereka mengutamakan pemikiran logis saja.
Akibatnya, tidak memunculkan akhlak rahmatan lil alamin. “Logical thinking kavlingnya di sini,” ujarnya sambil memegang kepala. “Mengetahui tapi belum tentu merasa.”
Padahal, sambungnya, outcome Ramadhan adalah takwa. Takwa termasuk dimensi afeksi (rasa) yang dasarnya adalah cinta dan takut.
“Karena waqa-yaqi-wiqayatan itu akarnya adalah menjaga dan memelihara. Seluruh perilaku menjaga dan memelihara berangkat dari rasa cinta dan takut, apapun perilakunya!” ujarnya.
Dia mencontohkan, ketika seseorang menjaga mobil dengan cara menguncinya. Artinya, dia mencintai sekaligus takut kehilangan mobilnya.
Dia menegaskan, “Tindakan menjaga (preventif) pasti berangkat dari cinta dan takut. Inilah unsur takwa. Orang bertakwa akan menjaga dan memelihara karena dia merasa dilihat, diawasi, dan dinilai.”
Visioner
Maka, Ustadz Arifin mengungkap, semua bentuk instruksi di dalam al-Quran dan hadits tentang takwa pasti menyangkut dua hal. Pertama, menjaga dan memelihara apabila merasa diawasi. Kedua, visioner. Yaitu mempunyai pandangan jauh ke depan.
Visioner berarti melihat akibat seluruh perbuatannya, memperhitungkan perbuatannya. “Semua yang menyebabkan pahala dikejar. Semua yang menyebabkan kerusakan ditinggalkan,” ungkap alumnus Gontor itu.
Hal ini dia simpulkan berdasarkan an-Nisa ayat 1.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴿١﴾
Kata Ustadz Arifin, kalimat “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah, lihatlah hari esok!” menunjukkan tercapainya akhirat itu starts from the end (mulai dari akhir, visioner).
Merasa bersama Allah
Lalu dia menekankan kalimat penutupnya dengan Asmaul Husna: “Allah maha melihat apapun yang kalian kerjakan.” Artinya, seseorang yang bertakwa akan merasa Allah melihat perbuatannya. “Takwa itu rasa bersama Allah. Para koruptor pun tahu, tapi tidak merasakan,” terangnya.
Contoh lain, banyak orang yang ketika shalat belum merasakan bersama Allah. Meski mereka tahu sedang menghadap Allah.
“Belum tentu merasakan betul-betul mengagungkan Allah di dalam waktu yang bersamaan mengecilkan diri kita di hadapan Allah yang maha Agung,” imbuhnya.
Ustadz Arifin mengingatkan, jangan yang penting saya puasa (tidak makan-minum) tapi rasanya hilang. Takwa seseorang bisa diukur salah satunya dari apakah dia bisa merasa bersama Allah.
Selain itu, juga apakah bisa merasakan ada yang mencatat perbuatannya. Bukan hanya oleh malaikat di kanan-kirinya. “Kulit kita merekam, pendengaran kita merekam. Akibat perbuatan itu dirasakan!” tegasnya.
Terakhir, Ustadz Arifin mengingatkan, karena takwa berbicara rasa, maka aktualisasinya fluktuatif. “Sekarang anda sabar besok belum tentu sabar,” contohnya di hadapan peserta yang berasal dari berbagai daerah dan negara, juga lintas karya atau profesi. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni