Kurikulum Semi Prasmanan oleh Anis Shofatun, kontributor Gresik. Tulisan ini Juara III Lomba Menulis Opini Milad Ke 6 PWMU.CO.
PWMU.CO- Peluncuran episode 15 Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar oleh Kemendikbudristek telah berjalan sebulan. Diluncurkan Jumat, (11/2/2022). Mitigasi mengejar ketertinggalan pembelajaran (learning loss) selama pandemi Covid-19 dinilai menjadi langkah sistemik dalam mentransformasi pendidikan di Indonesia.
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim menyampaikan Implementasi Kurikulum Merdeka sebagai langkah pemulihan pembelajaran pasca pandemi.
Nadiem memberikan tiga pilihan bagi sekolah untuk secara adaptif mempersiapkan diri dalam dua tahun ini. Yakni, tetap menjalankan Kurikulum 2013, memilih menggunakan Kurikulum Darurat atau langsung mengimplementasikan Kurikulum Merdeka Belajar. Seluruh sekolah akan menggunakan Kurikulum Merdeka tahun 2024 mendatang.
Kebijakan ini menuai respon positif khususnya siswa dan orangtua karena penyederhanaan konten yang tidak membebani tugas belajar. Beragam respon guru bermunculan dipermukaan, mengingat tuntutan berjibaku dengan penyesuaian kebijakan pendidikan di tengah pelaksanaan Program Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, Asesmen Nasional, Pembelajaran Jarak Jauh, Belajar Daring, Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) di masa pandemi ini.
Namun ini semua menjadi tantangan besar bagi sekolah dalam merespon isu perubahan ini. Terbuktikah terminologi ganti menteri ganti kurikulum? Bagaimana wajah baru Kurikulum Merdeka ini nantinya?
Krisis Belajar
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemdikbudristek Anindito Aditomo dalam wawancara dengan Medcom.id menyampaikan, Indonesia sebenarnya sudah lama mengalami krisis belajar sejak puluhan tahun.
Pandemi Covid menyadarkan berbagai pihak adanya learning loss dan krisis belajar menjadi PR yang esensial untuk diselesaikan. Anindito menyebutkan hasil analisis penguasaan Matematika dasar mulai tahun 2000-2014 terus menurun dan diperparah dengan pandemi Covid 19.
Data Programme for International Student Assesement (PISA) 2000 hingga sekarang secara konsisten hanya 30% anak-anak Indonesia yang bisa membaca, bernalar kritis secara Matematika, memiliki literasi sains di kompetensi minimum tingkat dasar.
Hasil penelitian lain oleh Shaffer et al, (2019) juga menunjukkan kemampuan dasar membaca yang rendah sangat memengaruhi kompetensi menganalisis data hasil pengamatan dan pemahaman terhadap pengetahuan kontekstual.
Pada hasil PISA terakhir tahun 2018 menunjukkan, rata-rata nilai sains Indonesia turun kembali dengan rata-rata 396 dari nilai rata rata Internasional 500, sehingga menempatkan Indonesia pada urutan ke 74 dari 79 negara peserta (OECD, 2019). Hal inilah yang melandasi pentingnya transformasi secara multidimensional terhadap Kurikulum di Indonesia.
Apa Sebenarnya Makna di Balik Kurikulum Merdeka?
Merespon isu pendidikan dengan konsep merdeka belajar ini ibarat sajian menu semi prasmanan pada acara kondangan mantenan atau tasyakuran. Ada menu wajib dan ada menu pilihan yang dapat dinikmati oleh siswa, guru dan sekolah.
Kurikulum merdeka berfokus pada materi esensial dan capaian kompetensinya. Sementara guru memiliki fleksibilitas dan kebebasan dalam berkreasi merancang pembelajaran, memilih strateginya, menentukan jenis asesmennya hingga pada pengaturan waktu untuk melaksanakan student collaborative project di sekolahnya.
Gagasan merdeka belajar ini mengarah pada konsep Personalize Learning. Karen L Mahon (2016) dalam bukunya yang berjudul Personalize Curriculum: Curation and Creation menyebutkan, pembelajaran yang dipersonalisasi berusaha memerdekakan proses belajar dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki setiap siswa.
Siswa akan memiliki kesempatan untuk memilih sesuai interest dan pengembangan potensinya. Setiap sekolah dan guru lebih memaksimalkan multiple intellegence yang dimiliki setiap anak dan melakukan asesmen diagnostik di setiap awal semester guna mengetahui kelebihan dan kelemahan setiap siswa untuk ditindaklanjuti pada semester berikutnya.
Pendidikan Muhammadiyah
Sejatinya, pendidikan Muhammadiyah telah lama mengamalkan konsep merdeka belajar melalui Holistik Education. Cita-cita pendidikan KH Ahmad Dahlan yang diwujudkan dalam pembelajarannya menerapkan pola kurikulum berbasis siswa dengan pembebasan dan gerakan.
Pendidikan yang dibangun mencakup tiga pilar yaitu baik budi dan alim dalam agama, luas pandangan dan alim dalam ilmu dunia, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat.
Meminjam istilah Society schooling yang digagas oleh Ketua Majelis Dikdasmen PWM Jawa Timur Dr Arbaiyah Yusuf MA menyebutkan pengembangan wadah penyaluran potensi dan bakat siswa melalui tiga pembebasan yakni freedom of mind (kebebasan berpikir), freedom of choice (kebebaan dalam menentukan pilihan) dan freedom of expression (kebebasan dalam berekspresi) yang butuh dilatihkan dan diberikan ruang kepada siswa di sekolah Muhammadiyah.
Nadiem merencanakan implementasi Kurikulum Merdeka secara lebih masif akan dijalankan pada tahun pelajaran 2022-2023 mendatang. Padahal kualitas sekolah beragam dan disparitas yang begitu luas antar satu sekolah dengan yang lainnya.
4 Langkah Strategis
Langkah strategis yang bisa dijalankan merespon perubahan kebijakan pendidikan saat ini :
Pertama, tetapkan goal setting. Kurikulum Merdeka memberikan fleksibilitas operasional di sekolah. Lakukan analisis TOWS terhadap tantangan (Threat), peluang (Opportunities), kelemahan (Weakness) dan potensi (Strength) yang dimiliki sekolah.
Pada akhirnya, sekolah dapat menentukan pusat keunggulan (center of excellence) apa saja yang mau ditawarkan kepada siswa dan masyarakat, sehingga mereka memiliki kesempatan yang lebih luas dan menikmati beragam fasilitas layanan pendidikan sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Kedua, perbanyak media dan variasikan sumber belajar. Peran guru jauh mengalami pergeseran tidak hanya sebagai pusat transfer knowledge tapi memfasilitasi pilihan cara belajar siswa. Saat ini anak belajar tidak lagi murni dengan guru tapi dengan sumber belajar.
Masjid, AUM (panti asuhan, rumah sakit, sekolah, Logmart dsb) dapat menjadi ruang belajar yang autentik bagi siswa. Maka peran guru sebagai inovator (perancang), kurator (memilih) dan fasilitator sumber dan media belajar terbaik buat keberagaman potensi dan gaya belajar siswa.
Ketiga, mengembangkan digital learning. Memahami karakteristik siswa yang masuk generasi Z dan A menjadi penting agar pembelajaran lebih maksimal. Kepekaan mereka dengan visualisasi dan kecepatan akses IT perlu difasilitasi semacam Learning Managemen System (LMS).
Kondisi ini menjadi tuntutan era globalisasi saat ini, terlebih semakin kuatnya kebutuhan akan pembelajaran jarak jauh, blended learning, fliped learning dan sebagainya. LMS ini dibangun untuk melatihkan kemandirian belajar siswa dan guru (Self Reglated Learning).
Ada menu wajib dan menu pilihan dalam konten dan capaian pembelajaran yang disajikan yang menentukan personalisasi yang mengarahkan pada interest siswa. Guru juga harus lihai dalam menggunakan media berbasis digital, interaktif dalam digital learning dan sebagainya
Keempat, Membangun ekosistem pembelajaran. Semangat memajukan pendidikan dan bergerak dalam memfasilitasi kemerdekaan belajar siswa akan mengalami keberhasilan lebih pesat apabila sinergisitas dan kolaborasi dibangun di antara guru dalam sekolah dan dikawal secara intens oleh kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran.
Pada jangkauan lebih luas kolaborasi bersama asosiasi pendidik seperti Forum Guru Muhammadiyah dapat mengambil peran dalam upaya peningkatan kompetensi, menularkan spirit dan wawasan pendidikan yang lebih berkemajuan.
Merespon setiap perubahan diperlukan adaptability dan agility (kelincahan) dari semua stakeholder sekolah. Sehingga sajian kurikulum yang ditawarkan oleh sekolah menjadi alat untuk melahirkan generasi bangsa yang taat kepada agama. (*)
Editor Sugeng Purwanto