Sekolah Muhammadiyah Beri Pendidikan yang Berkesan Termasuk pada Siswa Non-Muslim, liputan Muhammad Syaifuddin Zuhri, kontributor PWMU.CO Surabaya
PWMU.CO – Wakil Ketua PWM Jatim Prof Dr Biyanto Mag mengajak para pimpinan sekolah Muhammadiyah agar berupaya memberikan pendidikan yang berkesan bagi siswanya.
Hal itu disampaikan dalam Summit Meeting of Muhammadiyah Future School (MFS) 2021 di Aula Mas Mansur Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Kamis (24/3/2022) siang.
“Saya titip pesen kepada Bapak-Ibu semua. Karena ini sekolah-sekolah unggul, maka buatlah alumni sekolah kita benar-benar merasa berutang budi. Merasa pernah dididik oleh guru-guru yang hebat. Merasa pernah difasilitasi mendapat pembelajaran yang luar biasa di sekolah Muhammadiyah,” ajak Gurua Besar Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Menurut Biyanto, hal itu terkait adanya perubahan aturan PP No. 57/2021 junto PP No. 4/2022 tentang standar nasional pendidikan, yang mengubah delapan standar disederhanakan menjadi tiga. Yakni; input, proses, dan output.
“Khusus tentang output atau outcome terkait apa yang dirasakan siswa ketika menempuh pendidikan di sekolah Muhammadiyah. Itu akan mereka ingat hingga dewasa,” tegasnya.
Murid Non-Muslim Terkesan
Dia melanjutkan, kelak ketika siswa itu becoming (proses menjadi) apapun profesinya, selepas lulus dari sekolah Muhammadiyah, mereka selalu ingat, mengenang masa-masa pendidikanya dulu. Prof Bi, sapaaanya, mencontohkan pada salah satu acara penganjian di TVMU, yang menghadirkan para alumni sekolah Muhammadiyah yang beda-beda agamanya.
“Bapak-Ibu mungkin lihat pengajian PP Muhammadiyah tahun lalu. Yang diundang para alumni sekolah Muhammadiyah. Ada yang Kristen, Hindu, dan Budha, yang diundang secara daring dan luring. Mereka memberikan testimo yang luar biasa, pernah mengalami masa-masa yang sangat menyenangkan saat bersekolah di Muhammadiyah. Ada yang mengaku menjadi orang sukses karena didikan guru-guru Muhammadiyah,” kata dia.
Dia menegaskan, menjadi tugas para pendidik sekolah Muhammadiyah yakni mampu menginternalisasi nilai-nilai kekhasan sekolah Muhammadiyah, agar setelah lulus, alumninya selalu merasa bagian dari sekolah Muhammadiyah meskipun mereka bukan Muslim.
“Saya pernah menulis di Republika. Saya kasih judul: Krismuha dan Spirit Multikulturalisme. Khismuha itu singkatan dari Kristen Muhammadiyah. Mereka tetap Kristiani meskipun alumni sekolah Muhammadiyah. Dan, mereka berdiaspora (menyebar) di banyak tempat. Mereka ada juga yang Hindu dan Budha,” ungkapnya.
Fenomena Banyuwangi
Fenomena di atas, lanjutnya, juga terjadi SMK Muhammadiyah 8 Banyuwangi. Tepatnya di daerah Siriagung. Ada beberapa siswanya yang Hindu dan Kristen. Mereka sangat nyaman karena dididik guru-guru hebat di sekolah Muhammadiyah. “Testimoni nilai-nilai positif itu harus bisa diviralkan, untuk mereduksi kesedihan kasus pengergajian papan mana Muhammadiyah dan Aisyiyah di Banyuwangi,” tegas dia.
Prof Bi menceritakan, secara kebetulan pada hari kegiatan Summit Meeting of Muhammadiyah Future School ini di harian Kompas ada tulisan yang membahas peran-peran kemanusiaan Muhammadiyah sebagai antitesis dari insiden di Banyuwangi.
“Ditulis oleh Sukidi, kader Muhammadiyah Banyuwangi. Dia bercerita secara gamblang kronologis insiden pengergajian itu bukan saja melukai Muhammadiyah, namun juga melukai Indonesia yang berasas kebhinnekaan,” terangnya.
Biyanto mengatakan, bila mengacuh pada data tim MFS 2021, setidaknya ada tujuh sekolah unggul di Banyuwangi khususnya di daerah Genteng. “Tapi perlakuan masyarakat terhadap Muhammadiyah dan Aisyiyah kok segitunya. Artinya, fenomena itu menunjukan sekolah-sekolah Muhammadiyah belum bisa menginternalisasi nilai-nilai al-Islam dan kemuhammadiyahan dengan bagus sehingga lulusan belum berkesan dengan Muhammadiyah yang berpaham Islam berkemajuan,” jelas pria kelahiran Gampang Sejati, Laren, Lamongan ini.
Dia menutup sambutannya dengan memberi tantangan kepada para pimpinan sekolah Muhammadiyah dan Majelsi Didasmen yang hadir untuk melakukan survei. “Coba lakukan survei-survei sederhana, kira-kira mata pelajaran apa yang paling tidak disukai anak-anak kita. Jawabnya sangat mungkin adalah al-Islam dan Kemuhammadiyahan,” katanya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni