Usaha Transportasi Terlindas Pandemi oleh Disa Yulistian, kontributor Jember. Tulisan ini Juara II Lomba Menulis Softnews Milad ke PWMU.CO.
PWMU.CO– Usaha transportasi sangat terpuruk ketika wabah Covid melanda mulai Maret 2020 lalu. Dampaknya banyak sopir menganggur karena sepi penumpang.
Seperti dialami Muhammad Nur Fauzi (47), sopir perusahaan otobus di Jember. Sejak pemerintah mengumumkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dia hanya nongkrong di kantor.
”Sejak saat itu transportasi trayek umum ataupun pariwisata lumpuh,” kata Nur Fauzi. “Gak ada penumpang. Tempat wisata tutup.” Dia tak pernah membayangkan kondisi ini berlangsung hingga dua tahun.
Dia bercerita, sebelum pandemi jadwalnya penuh menyopiri bus umum trayek Surabaya-Banyuwangi. Dia bisa setor pendapatan bersih sebesar Rp 700 ribu sampai Rp 800 ribu kalau weekend. Penumpang yang mendominasi biasanya perantau dan mahasiswa pulang kampung. Hari-hari biasa setor sekitar Rp 500 ribu.
Kadang dia mengambil job trayek pariwisata, wisata religi, atau wisata liburan sekolah yang kerjanya lebih santai karena tidak kejar setoran.
Sejak berlaku PSBB semua sopir hanya absen dan siaga di kantor. ”Kita hanya standby beberapa kali dalam satu pekan. Memanasi mesin bus dengan mutar-mutar kota,” tuturnya.
Kondisi itu ternyata tak bertahan lama. Perusahaan bus lambat laun tak lagi kuat membayar gaji para sopir karena tak ada lagi pemasukan. Perusahaan pun memberhentikan sopir dan kondektur.
Menurut laporan Kementerian Perhubungan, sektor transportasi menjadi salah satu yang paling terdampak dengan laju penurunan sebanyak 15,04 persen.
”Biasanya PO bus membebaskan kita untuk cari pekerjaan sampingan dan boleh kembali lagi saat dibutuhkan,” ceritanya.
Banyak kawan sejawat Nur Fauzi beralih ke transportasi truk pengangkut barang, berjualan, atau menggarap sawah. Itupun bagi yang punya sawah di kampungnya.
”Saya sendiri lari ke angkutan sayur atau buah-buahan, meskipun tidak setiap hari ada,” tuturnya.
Apa saja dilakoni asal ada pekerjaan. Dia menanggung istri dan tiga anak. ”Sama berharap menunggu bantuan dari pemerintah kalau ada,” ujarnya getir.
Ketika mendekati Lebaran hatinya teriris-iris mengenang kesibukan masa panen jasa transportasi. Saat mudik Lebaran merupakan rezeki berlimpah bagi sopir. Satu hari bisa tiga tarikan trayek hingga malam. Pendapatan meraup berkali-kali lipat banyaknya karena penumpang penuh berjejalan.
”Sudah dua mudik Lebaran berlalu. Sekarang ya pendapatan kita hanya segini. Berarti rezekinya dicukupkan seperti ini,” ucapnya.
Saat ini bus mulai jalan. Tapi masih sepi penumpang. Sopir dan kondektur bisa setor Rp 100 ribu sampai 200 ribu. Tak jarang ketika penumpang sedikit terpaksa dialihkan ke bus lain karena pendapatan tak sebanding dengan ongkos perjalanan.
Jerat Utang Bank
Pengalaman lain dituturkan Lutfi Agustiyan, pemilik bus wisata yang juga guru. Satu setengah tahun wabah Covid membuatnya kelimpungan. ”Luar biasa parah karena bus wisata tidak berhenti,” katanya.
Padahal bus itu dibeli dengan kredit bank. Ketika penghasilan tak ada, maunya bus itu diserahkan saja ke bank. Harapannya tak ada lagi beban cicilan.
Namun mana ada bank mau seperti itu. Maunya uang pinjaman ya harus balik. Bank hanya memberi restrukturisasi utang. Bentuknya bisa menurunkan bunga kredit, memperpanjang tenor pembayaran, mengurangi tunggakan bunga kredit, dan mengurangi tunggakan pokok.
Lutfi dan teman senasibnya terpaksa menerima aturan main bank ini. Bersyukur memasuki tahun kedua pandemi permintaan wisata mulai ada. Terutama wisata religi. Tempat wisata sudah diizinkan buka. Jalanan yang lama lengang, sudah padat.
Para sopir berharap roda busnya cepat berputar untuk mengejar roda ekonomi rumah tangga yang putarannya masih terasa lambat. Untuk biaya hidup dan lepas dari jerat utang bank. (*)
Editor Sugeng Purwanto