Public Speaking Tidak Sekadar Bicara di Depan Umum, liputan Ain Nurwindasari kontributor PWMU.CO
PWMU.CO – Sekretaris Lembaga Kebudayaan Pimpinan Pusat Aisyiyah (LKPPA) Rossa Kusuma Azhar menyampaikan materi Public Speaking dalam Pelatihan Muballighat Digital, Selasa (22/2/22) yang diikuti perwakilan dari seluruh Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA).
Ocha, panggilan akrab, mengawali materinya dengan sebuah quote, ‘“If something comes from your heart, it will reach the heart of your audience.” Dia menekankan public speaking tidak sekadar berbicara di depan umum, namun penting berbicara dari hati.
Dia mencontohkan brand ambassador mempromosikan sebuah produk yang dia sendiri tidak memakai produk tersebut.
“Ada seorang influencer, brand ambassador, mempromosikan produk yang dia sendiri nggak pakai, pasti hasilnya dia terlihat kurang meyakinkan,” ungkapnya.
Oleh karena itu, dia memaparkan penting seseorang berbicara dari hati. Selain itu kepakaran menjadi unsur yang sangat penting.
“Kalau kita menyampaikan sesuatu tapi kita bukan pakarnya, maka itu hanya akan selintas. Makanya branding ini sangat perlu, branding ini tidak sekadar pencitraan,” tuturnya.
Matinya Kepakaran
Wanita yang sehari-hari menjalankan profesi sebagai radio announcer dan presenter TV ini menyayangkan saat ini telah terjadi matinya kepakaran.
“Ini bisa dibilang matinya kepakaran. Semua orang sekarang bisa jadi pakar, asal bisa public speaking, meskipun nggak menguasai sebuah topik,” jelasnya.
Meskipun demikian, dia meyakinkan agar muballighat tidak berkecil hati dalam melaksanakan tugas dakwah. Hal ini karena bisa saja suatu ketika muballighat diminta untuk menyampaikan materi yang mungkin belum ia kuasai.
“Tapi di sini kita terus belajar menjadi lebih baik ya agar bisa dipercaya, meyakinkan diri sendiri dan orang lain,” trangnya.
Berbicara di Depan Kamera
Ocha menuturkan berbicara di depan kamera tidak sama dengan berbicara secara langsung di depan audiens. Bahkan setiap public speaker membutuhkan penyesuaian beberapa detik lamanya setiap kali akan berbicara di depan kamera.
“Setiap mau memulai lagi di depan kamera pasti butuh penyesuaian beberapa detik. Misalnya kita bertemu dengan narasumber yang baru atau tidak tertarik dengan materi yang akan kita bahas. Banyak sekali narasumber yang biasa bicara di depan ribuan mahasiswa, tapi di depan kamera sudah sangat grogi. Dari mulai sekarang kita harus beradaptasi ngomong di depan kamera ya,” katanya.
Ocha mengungkapkan banyak pembicara di saat harus bertugas jadi moderator atau MC atau narasumber, sangat tertuju kepada diri sendiri. Hal ini perlu dihindari karena pembicara akan terganggu pada penampilannya sendiri.
“Pun saat kita bikin video, yaudah produksi aja, nanti kan ada editing. Jadi nggak usah terlalu memperhatikan bentuk wajah kita saat di depan kamera,” jelasnya.
Dia mengingatkan agar muballighat memperhatikan penampilan. Di antaranya adalah make up dan pakaian yang dikenakan.
“Tetap ya bu, di depan kamera, penampilan tetap harus menjadi salah satu aspek yang perlu kita perhatikan. Penampilan ini harus dibuat senyaman-nyamannya, nyamankan terhadap diri kita sendiri, dan di depan audiens. Minimal di depan kamera tidak kagok,” tuturnya.
Inner Power
Dalam public speaking Ocha mengingatkan pentingnya inner power. Ada orang yang belum ngomong aja udah kelihatan kharismatik. Inner power ini berkaitan dengan bagaimana seseorang bisa mengendalikan emosinya. Dari sisi mental bagaimana seseorang bisa bangkit lagi, dan yang termasuk inner power juga adalah spiritual power.
“Jadi public speaking ini keterampilan hati juga,” ucapnya.
Dia mengingatkan di saat berbicara kita harus tau sedang berbicara dengan siapa. Misalnya sedang siaran radio dengan anak muda, speed nya cepat, misalnya dengan orang tua kita harus pelankan.
Demikian juga dalam berekspresi juga harus diperhatikan. Misalnya sedang membicarakan tentang sedih, tapi kita senyum, itu tidak tepat.
Senyum dalam Public Speaking
Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta, Elly Agustina, mengajukan pertanyaan tentang bagaimana caranya agar bisa selalu tersenyum ketika menjadi pembicara. Ocha pun menjelaskan tersenyum saat berbicara di depan umum memberi efek positif.
“Bicara sambil senyum itu beda dengan bicara dengan tanpa senyum, lagi pula senyum itu ibadah,” jawabnya.
Peserta lainnya, Enny dari PWA Jawa Barat, mengajukan pertanyaan terkait mengatasi insecure (minder) ketika berbicara di depan orang yang dianggap pakar di bidangnya. “Kalau kita bicara di depan orang-orang yang hebat, biasanya kita kurang Pede. Itu gimana mbak?”
Ocha menjelaskan berbicara di depan orang-orang yang lebih expert ataupun lebih senior akan menjadi ujian mental bagi seorang public speaker.
“Kepercayaan diri adalah pilihan. Yang tau diri kita adalah kita, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Percaya diri itu pilihan tapi jangan berlebih. Berbicara lah sesuai kapasitas kita. Makanya prepare itu sangat penting,” jelasnya.
Dia pun berpesan sebagai public speaker maka harus memiliki kemauan yang kuat untuk terus mencoba dan mengukur kemampuan public speakingnya.
“Setiap panggung harus dicoba, kalau tidak dicoba kita tidak akan mampu mengukur diri kita sendiri,” tandasnya. (*)
Co-Editor Ichwan Arif. Editor Mohammad Nurfatoni.