Aset Triliunan tapi Miskin, Begini Penjelasan Prof Abdul Mu’ti; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah.
PWMU.CO – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti MEd menerangkan tafsir baru untuk yatim dan miskin. Yatim diartikan orang-orang yang lemah atau dhaif.
“Bisa dhaif karena tidak punya ayah atau ibu. Dhaif karena tidak ada yang menjamin kehidupannya walaupun punya ayah atau ibu. Atau dhaif karena tidak punya ilmu,” terangnya saat menghadiri Kajian Ramadhan 1443 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Ahad (3/4/22) siang.
Kata Prof Mu’ti, tafsir baru itu sebenarnya sudah muncul sejak zaman Kiai Ahmad Dahlan. Tafsir ini menggeser definisi lama dan klasik untuk istilah yatim. Yaitu tidak ada ayah, ibu, atau keduanya, di mana sebatas mengaitkan dengan hubungan nasab.
Selain itu, kata Prof Mu’ti, adapula yatim sosial. Makanya ada istilah mustadhafin dan dhuafa. Dia menegaskan, orang miskin dihitung berdasarkan ekonomi itu fikih klasik.
“Kenyataannya, sekarang orang miskin karena struktural. Kebijakan yang membuat dia miskin!” tegas Prof Mu’ti.
Dia lantas mengungkap, “Orang miskin karena mindset-nya miskin walaupun asetnya triliunan. Jadi miskin bukan soal jumlah aset, tapi soal mindset!”
Dengan kata lain, Prof Mu’ti menyatakan, “Being poor isn’t because of the limitation of their materialistic ownership.”
Sebab, sambungnya, ada orang yang hartanya berlimpah tapi merasa miskin, terus merasa kurang. Karena itu, dia menjadi pelit atau menimbun hartanya untuk kebanggaan diri. Bahkan, mengambil harta orang lain dengan cara batil (korupsi).
Merasa Cukup
Itulah mengapa, kata Prof Mu’ti, rangkaian ayat-ayat tentang puasa ditutup dengan potongan al-Baqarah ayat 188 berikut.
وَلَا تَاۡكُلُوۡٓا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ
Artinya, “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil.”
Dari potongan ayat itu, Prof Mu’ti menekankan, kalau seseorang sudah berpuasa, maka tidak akan mungkin mengambil harta orang lain. “Harta dia saja kalau merasa cukup, dia berikan kepada orang lain,” imbuhnya.
Kemudian dia menyatakan, puasa mendidik seseorang untuk merasa cukup dan bersyukur dengan yang dia punya. “Yang kita punya pun karena sudah cukup jadi tidak kita ambil,” tambahnya.
Dia mencontohkan, ada orang yang punya motor lawas, tapi tetap senang mengendarainya. Artinya, orang itu merasa cukup dengan motor lawas itu.
Baca sambungan di halaman 2: Candaan Pajero