Bahagia dalam Segelas Jus, oleh Ustadz Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur; penulis 18 buku inspiratif.
PWMU.CO – Kakek nenek itu berjalan masuk ke restoran. Tangannya saling menggenggam. Lalu memilih meja dan duduk dengan jarak berdekatan. Meskipun dua orang, mereka hanya memesan minuman satu gelas dan bubur satu mangkok.
“Sedotannya dua dan sendok dua,” kata kakek kepada pelayan.
Mereka berdua menyedot minuman dari gelas yang satu dan makan bubur dari mangkok yang satu juga. Terlihat susana sangat mesra dari keduanya. Mereka lalu bicara dengan suara setengah berbisik. Tidak lama sang nenek menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. Tersungging senyum di bibirnya. Tapi bersama senyum itu ada air mata yang meleleh di pipinya.
Sepasang suami istri memperhatikan kakek nenek itu sejak mereka turun dari taksi, lalu memesan minuman satu gelas berdua sampai nenek besandar di bahu kakek. Tapi meraka heran mengapa dalam senyum itu ada tangis nenek?
Tak tahan, sang istri mendatangi kakek nenek itu.
“Mohon maaf, saya melihat Anda berdua bahagia sekali. Bolehkah saya duduk di sini?”
“Dengan senang hati. Silakan Nak, kamu cantik sekali,” kata nenek ramah.
“Ada yang aneh. Saya melihat nenek dengan manja bersandar ke bahu kakek. Tapi nenek kok menangis. Apa yang terjadi?”
Nenek itu tersenyum malu. Sang kekek kemudian bekata: “Tadi aku bilang, kita tanpa terasa sudah 55 tahun menikah. Maafkan aku Bu, jika aku pernah menyakiti hati ibu. Sebenarnya aku tidak ingin hati ibu terluka.”
Sang nenek menjawab: “Tidak Pak. Bapak selalu memanjakan aku. Bapak tidak pernah melukai hatiku. Terima kasih yag Allah, Engkau berikan kepadaku suami yang setia. Dia tidak pernah berubah sejak kami menikah. Alangkah indahnya hidup yang Engkau berikan kepada kami. Ya Allah berkatilah hidup kami sampai Kau ambil nyawa kami”.
“Aku menangis karena sangat bahagia pada ulang tahun perikahan yang ke 55 ini. Itu tangis bahagia anakku. Bukan tangis kesedihan. Suamiku juga sering membuat kejuatan. Dan selalu kejutan yang menyenangkan,”kata nenek.
“Contoh kejutan apa Nek?”
“Contohnya, mengajak ke restoran ini. Memesan minuman satu gelas berdua dan bubur satu mangkok berdua. Ini kemesraan yang mengejutkan bagi aku.”
“Mengapa tidak saling menyuapi, Nek? Kan makin mesra,” goda wanita itu
“He… he, kami tidak melakukan itu sudah agak lama. Kakek bilang suatu saat entah siapa yang dulu, kita akan berpisah. Ajal menjemput kita. Maka kita harus membiasakan diri untuk menyuapi diri sendiri.”
“Dalam rumah tangga kadang ada konflik, itu biasa. Kapan kekek dan nenek terakhir konflik?”
Keduanya lama terdiam. Lalu menggeleng. “Tidak ingat. Apa kita pernah konflik ya Pak? Dia suami sangat penyabar kepadaku,” katanya dengan tetap menggelengkan kepala.
Sang kakek menimpali, “Istri saya sangat-sangat luar biasa. Saya selalu dijadikan pemenang. Untuk apa konflik kalau sudah jadi pemenang? Itu orang abnormal.”
Memburu Bahagia
Wanita itu merasa banyak sekali memperoleh pelajaran dari kakek nenek itu. Ternyata bahagia itu murah, mudah, dan sederhana. Tanpa sadar air mata membasahi pelupuk matanya.
Dia akan ceritakan semuanya kepada sang suami yang berada di meja pojok itu.
Dia akan batalkan rencana ualang tahun perkawinan ke 20 di sebuah hotel. Dia ingin meniru kakek dan nenek itu. Sederhana tapi penuh makna. Sedehana tapi langsung menyentuh isi hati. Bukan meriah tapi hanya menyisakan badan capek dan rasa wah yang sering palsu.
Pertengkaran? Dia akan mengikuti resep kakek nenek itu. Dia akan menjadikan suaminya sebagi pemenangn seperti nenek itu menjadikan kakek sebagi pemenang. Maka tidak ada lagi konflik. Selama ini jika terjadi beda pendapat sering dia bertahan karena menganggap pendapatnya benar. Suaminya juga makin ngotot bahwa pendapatnya benar. Maka terjadi pertengkaran. Padahal yang diperdebatkan kadang soal sepele, Terus saling ngotot. Maka yang sepele itu menjadi serius. Ada warna harga diri masuk di sana.
Banyak orang mengejar kebahagiaan. Ada yang ke gunung. Ke pantai. Ke pusat rekreasi, tampat hiburan malam, dan berbagai tempar lain. Bahkan mengejar sampai jauh ke luar negeri. Namun mereka sering kecewa. Mereka tidak menemukannya.
Memang kebahagiaan itu tidak di gunung, tidak dipantai, tidak di tempat hiburan, juga tidak di luar negeri. Kebahagiaan itu sangat dekat dengan kita. Kebahagiaan itu bersemayam di dalam hati kita sendiri.
Jika kita menggunakan ajaran agama sebagai panduan hidup maka Allah pasti menurunkan kebahagiaan dalam kehidupan kita. Sayangnya banyak orang tidak percaya. Lalu memilih jalan sesuai seleranya. Maka hidupnya menjadi sempit dan sengsara.
“Barang siapa yang mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh akan Kami berikan kehidupan yang indah dan sungguh akan Kami berikan balasan yang lebih baik daripada apa yang mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)
“Barangsiapa berpaling dari peringatanku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan pada hari kiamat nanti akan kami hidupkan dengan keadaan buta.” (Thaha: 124). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni