Konsep autofagi atau self eating jadikan puasa ibadah istimewa. Liputan Moh Ernam, kontributor PWMU.CO Sidoarjo.
PWMU.CO – Konsep autofagi dalam puasa dijelaskan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr Saad Ibrahim, dalam Kajian Ramadhan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo, Jumat (15/4/22).
Dalam kajian yang berlangsung di Muhammadiyah Boarding School (MBS) Porong, Komplek Perguruan Muhammadiyah Desa Lajuk, Porong, itu Saad menjelaskan Surat al-Baqarah ayat 183 menegaskan bahwa orang beriman diwajibkan berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelumnya.
“Ini menjadi pertanyaan besar, apa hanya puasa yang diwajibkan untuk terdahulu? Padahal shalat iya, haji juga iya, zakat juga iya. Tapi hanya puasa yang diperintahkan kepada orang beriman, disertai penegasan bahwa puasa juga diwajibkan untuk umat terdahulu,” ujarnya.
Menurut Saad, hal itu karena puasa merupakan ibadah yang terberat, satu bulan penuh. Dibandingkan shalat walau sehari-semalam lima kali dan tujuh belas rakaat, tapi waktu shalat jika ditotal hanya sekitar tiga puluh empat menit.
“Apalagi dibanding haji yang hanya sekali seumur hidup. Tapi puasa satu bulan penuh setiap tahun. Makanya Allah memberi support bukan kamu saja, tapi orang terdahulu juga,” urai dosen ilmu al-Quran UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, tersebut.
Saad menuturkan, kalau kita ini puasa, bisa jadi pendahulu juga puasa. “Puasa ajaran agama yang sangat klasik, yang ditegaskan kembali sekitar 1441 tahun lalu. Karena ada kata kutiba dalam perintah menjalankan puasa,” jelas Kiai Saad.
Konsep Autofagi
Tahun 1945 pada bulan Februari, kata Saad, di Jepang lahir seorang anak laki-laki diberi nama Yoshinori Ohsumi. Tahun 1974, Yoshinori Ohsumi menyelesaikan doktoral di Tokyo University, kemudian mengajar di New York.
“Tahun 1988 mendirikan lembaga riset dan tahun 2016 mendapatkan penghargaan pada 3 Oktober 2016. Penghargaan tertinggi, Nobel bidang kedokteran yang diterima bulan November. Dia ahli fisiologi. Dia mendapatkan dan membuat istilah autofagi atau self eating, memakan diri sendiri atau kanibalis,” kata Saad.
Sel-sel tubuh manusia, sambungnya, selalu diberikan makan. Makanan diolah oleh lambung, sarinya diedarkan oleh darah, dan dibagi secara adil ke seluruh sel. Makanan yang kita makan menjadi gula darah. Kalau gula darah melebihi batas maka darah menjadi kental dan jalannya berat. Kalau darah kental menyumbat otak, maka orang akan jadi stroke.
“Pankreas bekerja menghasilkan insulin yang disemprot secara terus-menerus untuk mengencerkan darah. Kalau beban pankreas terlalu berat maka ia akan rusak sehingga penderita harus disuntik insulin,” urainya.
Untuk mengendalikan pencernaan dibutuhkan puasa. Entah puasa sungguhan atau tidak sungguhan. “Puasa selama 14 jam membuat sel-sel kita kelaparan dan memakan konten yang dimiliki tubuh. Makanan yang disukai adalah racun, sel mati karena kanker, lalu diolah kembali oleh sel,” paparnya.
Saad mengatakan, jika sahur kita benar, jam 12 sel-sel sudah kelaparan. Setelah itu sel akan memakan dirinya sendiri dan membersihkan daki-daki termasuk racun. “Maka dengan cara seperti itu akan berpengaruh terhadap puasa kita, termasuk gula menjadi nol,” terangnya.
Puasa Balas Dendam
Universitas Brawijaya, kata Saad, pernah mengadakan penelitian terhadap orang berpuasa. Yang terbaik hati tapi yang paling rusak adalah pencernaan. Lalu dilakukan penelitian lagi pola puasa yang dilakukan umat Islam termasuk pola berbuka.
“Ternyata orang berpuasa memiliki kebiasaan buka balas dendam. Saat puasa sel memakan racun dalam tubuh, lalu saat berbuka dibombardir dengan makanan baru sehingga lambung bekerja keras sehingga menjadi rusak. Ini justru merusak puasa kita,” ucapnya.
Apalagi, kata dia, menghilangkan konsep takjil, bahkan saat Maghrib ditunda hingga mendekati isya. “Tentu bombardir makanan ini akan membuat pencernaan menjadi rusak. Mari kita lakukan puasa dengan benar agar bermanfaat lahir dan batin,” kata Kiai Saad. (*)
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.