Merawat Fitrah Diri untuk Kemaslahatan Umat dan Bangsa; Oleh Buya Amirsyah Tambunan, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI).
PWMU.CO – Idul Fitri membawa pesan kemenangan yang mempunyai dua dimensi. Pertama, dimensi vertikal memperkuat spritual dengan dasar iman dan takwa (imtak). Dimensi ini untuk memenangkan setiap pertarungan hawa nafsu agar taat kepada Allah dengan harapan menjadi orang yang bertakwa (muttakin).
Kedua, dimenasi sosial yakni kemenangan secara horisontal khususnya dimensi sosial guna memperkuat kepedulian sosial dari kesalehan individual menjadi kesalehan sosial dengan berbagi antara sesama.
Gerakan ekonomi masyarakat dapat dilakukan untuk memperkuat kohesivitas sosial di masa pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional agar masyarakat pedesaan memperoleh limpahan ekonomi dan keuangan dari para pemudik melalui gerakan sosial mudik keseluruh penjuru tanah air.
Oleh sebab itu momentum Idul Fitri bagi umat Islam berarti kembali menjadi suci. Pendapat ini didasari oleh sebuah hadis Rasullullah SAW: “Barang siapa yang melaksanakan ibadah shaum selama satu bulan dengan penuh keimanan kepada Allah SWT maka apabila ia memasuki Idul Fithri ia akan kembali menjadi fitrah seperti bayi (tiflul) dalam rahim ibunya.
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” (HR Bukhari dan Muslim)
Penting dicatat kata fitrah diambil dari bahasa Arab yaitu fa-tha-ra yang berarti “membuka” atau “menguak”. Juga dapat diartikan sebagai perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, ciptaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fitrah dikaitkan dengan kata sifat, asli, bakat, pembawaan perasaan keagamaan.
Untuk itu berbuka puasa setiap hari disebut ifthar, yang secara harfiah dapat dipahami memenuhi fitrah yang suci dan baik. Secara simbolis makan dan minum yang halal dan thayib adalah merupakan bagian dari fithrahnya yang suci. Dari sudut pandang ini kita mengerti mengapa Islam mewajibkan iktiar makan, minum, tidur, menikah, bekerja, dan seterusnya secara halal dan thayib.
Nabi SAW pernah memberi peringatan keras kepada salah seorang sahabat Utsman ibn Mazh’um, yang ingin menempuh hidup suci dengan melakukan semacam pertapaan. Nabi juga melarang keras pikiran sahabat beliau yang ingin menempuh hidup tidak menikah seumur hidup, karena menyalahi fitrah.
Idul Fithri mengandung makna kembali kepada hakikat dari manusia dan kemanusiaan. Jadi manusia diciptakan Allah dalam fitrah kesucian dengan adanya ikatan perjanjian yang kuat (mitsaq) yang disifatkan sebagai perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan ghalizan) antara Allah dan manusia sebelum manusia itu lahir ke bumi. Allah SWT mengingatkan agar manusia tetap pada fitrahnya, seperti pejelasan Surat ar-Rum ayat 30.
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptkan fithrah manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
Baca sambungan di halaman 2: Tiga Arti Penting Idul Fitri