PWMU.CO – Metode Pembelajaran Shalat untuk Anak Usia Dini; Oleh Dr Syamsudin MAg, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur: Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. Baca juga artikel terkait: Pentingnya Pembiasaan Shalat sejak Usia Dini
مُروا أولادَكم بالصلاةِ وهم أبناءُ سبعِ سنينَ واضربوهُم عليها وهمْ أبناءُ عشرٍ وفرِّقوا بينهُم في المضاجعِ
Perintahkanlah anak-anak kalian yang sudah berumur tujuh tahun untuk mengerjakan shalat, dan pukullah mereka ketika mereka sudah berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah mereka dalam tempat tidur mereka.” (HR Abu Daud: 495).
Berdasarkan dalil di atas para ulama menjelaskan bahwa dua orangtua memiliki kewajiban untuk mengajarkan anak-anaknya shalat, dan hal-hal lain yang ada hubungan dengan shalat. Seperti thaharah dan menutup aurat. Orangtua juga memiliki kewajiban memukul anak-anaknya yang sudah dewasa, jika mereka tidak mau melaksanakan shalat. Kedewasaan mereka bisa ditandai dengan indikator-indikator jasmani. Bagi laki-laki dengan mimpi basah. Anak perempuan ditandai dengan haid atau genap berusia 15 tahun.
Tiga Fase Pembelajaran Shalat
Dalam memahami hadis riwayat Abi Dawud di atas, para ahli juga menjelaskan adanya tiga fase pembelajaran shalat. Yaitu meliputi usia 0-7 tahun, fase 7-10 tahun, dan fase 10 tahun ke atas.
Fase pertama, yaitu fase 0-7 Tahun. Disebut juga sebagai fase Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang paling mendasar. Ia menempati posisi yang strategis dalam pengembangan sumber daya manusia. Menurut para psikolog, usia dini, yaitu usia 0-7 tahun, sangat menentukan bagi pengembangkan potensi anak.
Usia ini sering disebut sebagai “usia emas” atau the golden age. Ia datang hanya sekali dan tidak dapat diulangi lagi. Para ahli menjelaskan bahwa perkembangan intelektual anak justeru terjadi sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupannya. Sekitar 50 persen varibilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika mereka masih anak-anak berusia empat tahun. Peningkatan 30 peren berikutnya terjadi pada usia delapan tahun, dan 20 persen sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.
Pengenalan shalat pada saat anak berada dalam usia emas atau golden age tentu bersifat khas. Pada fase inilah shalat mulai dikenalkan dalam bentuknya yang sangat sederhana. Dimulai dari pengenalan adanya ibadah shalat dalam Islam, nama-nama shalat, tempat shalat, waktu shalat, bilangan rakaat shalat, dan tata cara shalat. Pengenalan ini berguna untuk membentuk kesiapan anak, sehingga ketika ia mencapai usia 7 tahun dan mulai diperintah shalat, mereka sudah memiliki kesiapan secara mental dan emosional.
Fase kedua, yaitu fase 7-10 Tahun. Pada fase ini, anak-anak berada dalam masa transisi. Fase ini juga menunjukkan sebagian ciri dari tahap pertama perkembangan moralitas. Disebut tahap moralitas heteronom, di mana anak-anak berfikir bahwa keadilan dan peraturan adalah properti dunia yang tidak bisa diubah dan dikontrol oleh orang. Mereka juga berpikir bahwa peraturan dibuat oleh orang dewasa dan terdapatnya pembatasan dalam berperilaku.
Juga sebagian dari ciri tahap kedua perkembangan moralitas, yaitu yang disebut sebagai moralitas otonom. Di mana anak mulai sadar bahwa peraturan dan hukum dibuat oleh manusia. Dalam menilai sebuah perbuatan, anak-akan mempertimbangkan niat dan konsekuensinya.
Moralitas akan muncul dengan adanya kerja sama atau hubungan timbal-balik antara anak dengan lingkungan di mana anak berada. Pada masa ini anak percaya bahwa ketika mereka melakukan pelanggaran, maka otomatis akan mendapatkan hukumannya. Inilah fase di mana anak-anak mulai diperintahkan melaksanakan shalat
Pembelajaran shalat pada fase ini dalam bentuk perintah untuk praktik menjalankannya. Bukan perintah semata-mata doktrinasi yang otoriter, namun juga penyadaran atas motivasi yang telah dibangun selama tujuh tahun lamanya. Yang paling penting untuk dikenalkan pada fase ini adalah jawaban dari sebuah pertanyaan, “Mengapakah kita harus shalat dan ditujukan kepada siapakah kita shalat?”
Fase ketiga, yaitu fase usia 10 Tahun Keatas. Fase ini seringkali dinamakan sebagai fase pascakonvensional, di mana pada fase ini anak mulai mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan dan kemudian anak memutuskan satu kode moral pribadi. Dalam fase ini, diharapkan pada diri anak sudah membentuk keyakinan sendiri, bisa menerima orang lain memiliki keyakinan yang berbeda dan tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain.
Pembelajaran shalat pada fase ini bersifat perhatian dan penilaian. Orangtua memperhatikan kegiatan atau aktivitas shalat anak-anaknya. Memantau dan mengawasi sejauh mana ia melakukannya. Mencermati gerakan dan bacaan shalat anaknya, apakah sudah benar dan direkomendasi untuk diteruskan. Ataukah masih ada yang salah, sehingga perlu bimbingan lebih lanjut.
Pada fase ini, jika anak-anak taat menjelankan shalat, maka diberi pujian dan penghargaan. Sanksi atau hukuman jika tidak taat menjalankan shalat. Tentu dengan bentuk-bentuk sanksi yang edikatif.
Baca sambungan di halanan 2: Metode Pembelajaran Shalat