Hukum Mengucapkan Sayyidina untuk Rasulullah, Oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian ini berdasarkan hadits riwayat Ahmad
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا فَخْرَ وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الْأَرْضُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا فَخْرَ وَأَنَا أَوَّلُ شَافِعٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا فَخْرَ. رواه أحمد
Dari Abu Sa’id berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku adalah pemimpin anak Adam pada Hari Kiamat, dan ini bukannya aku sombong, aku adalah orang yang pertama kali dibuka kuburnya pada Hari Kiamat dan ini bukannya aku sombong, serta aku yang pertama kali yang memberi syafaat dan ini bukannya aku sombong.” (HR Ahmad)
Makna Sayyid
Sayyid bermakna junjungan atau tuan, seperti halnya kalimat as-Sayyidul Masiih yang berarti laqabun nabi ’Isa ibni Maryam yakni gelar atau panggilan kehormatan untuk nabi ‘Isa ‘alaihissalam, atau as-Sayyidatul ‘Adzraa’ yaitu laqab Maryam al ‘Adzraa’. Sebagaimana dalam hadits di atas Rasulullah adalah sayyid anak cucu Nabi Adam alaihissalam.
Maka dalam hal ini Rasulullah merupakan penghulu dari seluruh umat manusia pada hari Kiamat. Termasuk juga menjadi penghulu dari para Nabi dan Rasul terdahulu (sayyidul anbiyaa’ wal mursalin). Maka beliulah sebagai Nabi pamungkas yang setelah beliau tidak ada nabi lagi.
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٖ مِّن رِّجَالِكُمۡ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّۧنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (al-Ahzab;40).
Hukum Membaca Sayyidina
Dengan landasan hadits di atas, ada tiga pendapat berkenaan dengan sebutan sayyidina bagi baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallama. Pertama, melarang menggunakan sayyidina baik di dalam shalat atau di luar shalat.
Alasan dari pendapat ini adalah Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan kepada para sahabat untuk mengucapkan sayyidina ketika barshalawat. Juga para sahabat tidak ada yang melakukannya walaupun dengan alasan hanya untuk menghormati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salla. Karena shalawat termasuk ibadah dan ibadah sifatnya tauqifiah dan tidak ada satu orang sahabatpun yang mengucapkan sayyidina dalam shalawat, jika penambahan ini baik tentu sahabat radhiyallahu anhum tentu sudah mempraktekkannya.
Kedua, pendapat yang melarang pengucapannya di dalam shalat dan membolehkannya di luar shalat. Sebagaimana pendapat yang pertama di dalam shalat tidak diperkenankan ada tambahan sebagaimana yang diajarkan, akan tetapi untuk diluar shalat masih diperkenankan.
Karena sebutan sayyid termasuk sebutan bagi orang dimuliakan seperti untuk para raja yakni tuanku atau yang mulia dan gelar lainnya yang memang berlaku di tengah masyarakat. Dan Nabi justru lebih berhak dipanggil dengan menggunakan sayyidina, sehingga dalam hal ini tidak menyalahi syari’ah.
Ketiga, pendapat yang mensunnahkan pengucapannya baik di dalam maupun di luar shalat. Sebagaimana dalam hadits di atas Nabi adalah sayyid bagi semua anak cucu Adam alaihissalam. Sehingga sudah seharusnya semua umatnya dapat menghormatinya sebaik mungkin.
Nabi Muhammad adalah seorang yang sangat tawadldlu’, maka tentu beliau tidak ingin disanjung-sanjung. Akan tetapi sebagai umatnya dan sebagai wujud cinta kita kepada beliau, maka disamping terus berusaha menjalankan sunnah-sunnah beliau, sekaligus dalam menyebut nama beliau khususnya ketika bershalawat juga sebaiknya menggunakan kata sayyidina.
Dengan demikian menurut pendapat ketiga ini, membaca sayyidina ketika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika membaca tasyahud di dalam shalat. Wallahu a’lam.
Baca sambungan di halaman 2: Menghargai Perbedaan