Jangan Takut Berkata Tidak, Belajar dari Hamka dan Natsir; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku-buku termasuk Jejak Kisah Pengukir Sejarah
PWMU.CO – Bagi rata-rata orang, tak mudah mengamalkan ajaran nahi munGkar. Untuk kebanyakan orang, tak gampang mengatakan “tidak!” kepada sesuatu yang melanggar syariat Allah terlebih jika pelakunya adalah pihak yang punya kekuasaan.
Atas hal itu, ada baiknya kita belajar berani bernahi munkar. Pertama, belajar kepada al-Quran. Terkait ini, antara lain bisa belajar lewat kajian Buya Hamka di kitab tafsirnya yaitu Al-Azhar. Kedua,belajar kepada Buya Natsir dengan memperhatikan nasihat yang pernah disampaikannya.
Spirit Ayat dan Kisah Ayah
Setelah beriman kepada Allah, maka beramar makruf dan bernahi munkar termasuk di antara ajaran pokok Islam. Perhatikan ayat ini: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imran 110).
Pada ayat di atas, ketiga hal yaitu amar makruf, nahi munkar, dan iman kepada Allah adalah hal yang tidak terpotong-potong dan tidak boleh dipotong. Bahwa, umat Islam tetap menjadi sebaik-baik umat selama mereka mempunyai tiga sifat utama itu, yaitu: Berani menyuruh berbuat makruf, berani melarang perbuatan munkar, dan beriman kepada Allah.
Sungguh menarik saat Hamka, di Tafsir al-Azhar, mengulas Ali Imran ayat 110 itu. Bahwa, hemat Hamka, hendaklah kita mengambil mafhumnya dari bawah. Kita baca syarat umat terbaik, urut dari bawah: Pertama, beriman kepada Allah. Itulah awal permulaan kebebasan jiwa. Kedua, berani melarang yang munkar. Itulah akibat pertama iman kepada Allah. Ketiga, berani menyuruh dan memimpin sesama manusia kepada yang makruf (2003: 889).
Tampak, bagi Hamka, setelah ada iman di diri kita, maka aktivitas yang harus lebih didahulukan adalah nahi munkar. Memang, pilihan ini lebih beresiko ketimbang amar makruf. Tapi, “Itulah tugas hidup,” tegas Hamka.
Hamka punya contoh. Dulu, di masa penjajahan Jepang, ada peraturan rukuk (keirei) ke istana Kaisar Jepang. Tapi, ayah Hamka yaitu Dr Abdul Karim Amrullah tak mau melakukannya. Padahal, untuk sikap berani berkata “tidak!” itu ada resiko yaitu disiksa kempetai Jepang.
Atas sikap berani bernahi mungkar itu, Hamka lalu menanyakannya kepada sang ayah. Apa jawab sang ayah? Ini responnya: “Ayah tidaklah takut kepada mati, hai Anakku! Hal yang Ayah takuti ialah yang sesudah mati!”
Alhasil, simpul Hamka, selama amar makruf nahi mungkar masih ada maka selama itu pula Islam masih akan tetap hidup dan memberikan hidup. Selama itu pula umat Islam akan menjadi yang sebaik-baik umat yang dikeluarkan di antara manusia.
Baca sambungan di halaman 2: Spirit Natsir, Belajarlah ke Sejarah