Partai Islam Bermunculan, Bagaimana Nasib Mereka di Pemilu 2024? Liputan Miftahul Ilmi, wartawan majalah Matan
PWMU.CO – Meski pemilihan umum baru akan digelar tahun 2024, namun suhu politik di Tanah Air sudah mulai memanas. Utamanya berkaitan wacana pemilihan presiden yang menyertai pemilihan anggota legislatif dan DPD.
Berbagai jajak pendapat dan survai dilakukan beberapa lembaga dengan hasil yang cukup variatif. Lalu bagaimana nasib partai-partai politik Islam?
Dalam lima kali pemilu pascareformasi tak beranjak dari perolehan papan tengah rerata 4 hingga 7 persen. Jika diagregasikan perolehan partai-partai itu tak lebih dari 30 persen. Sudah demikian, belakangan muncul partai-partai Islam baru yang diperkirakan akan saling ‘memangsa’ pemilih partai Islam lama. Berebut kue yang relatif kecil?
Menurut Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti, keberadaan dan kemunculan partai politik Islam baru memang dijamin oleh UUD 1945 dan UU Partai Politik sebagai bagian dari kebebasan menyatakan pendapat dan berkumpul.
“Kalau soal peluang memang tergantung pada apa yang terjadi di lapangan. Secara teoritik kalau jumlah partai semakin banyak, maka sebaran pemilih akan semakin terdistribusi secara luas. Dan akhirnya akan berpengaruh pada perolehan suara bagi partai politik yang sudah beberapa ikut Pemilu maupun yang baru berdiri sekarang ini,” jelasnya usai menghadiri acara halalbihalal PWM Jatim, Selasa (10/5/2022).
Fragmentasi dan Konvergensi Politik Baru
Mu’ti mengatakan, ada pengalaman pada pemilu-pemilu sebelumnya beberapa partai Islam baru dan lama yang tidak lolos ke Senayan. Fakta ini menunjukkan bahwa peluang partai Islam untuk menang memang kecil. Terlebih lagi beberapa tokoh yang mendirikan partai baru sebelumnya juga aktif di partai lama, seperti Amien Rais di Partai Ummat dan Fahri Hamzah cs di Partai Gelora. Beberapa pendiri Partai Masyumi yang sebelumnya juga di PBB.
“Dengan begitu pemilih pendukung tokoh akan berpindah pilihan mengikuti partai baru tokoh itu. Yang terjadi kemudian adalah fragmentasi politik yang makin luas dan merupakan tantangan tersendiri bagi masa depan umat Islam,” ujarnya.
Guru Besar Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menambahkan, dalam konteks keberadaan parpol dengan pengambilan kebijakan strategis negara tentu parpol yang pemilihnya besar dan memiliki kursi banyak di legislatif pasti lebih menentukan, terutama dalam pengambilan keputusan perundangan, penentuan jabatan-jabatan penting kenegaraan, dan penentuan presiden-wakil presiden.
Dengan banyaknya parpol Islam sekarang ini, lanjut pria asli Kudus itu, belum bisa dipastikan jumlah pemilih akan bertambah. Ibarat orang memancing ikan di kolam yang sama, pemancing semakin banyak. Kans mendapat ikan semakin kecil.
Meskipun sekarang tidak terlalu relevan melihat partai politik Islam dan partai politik non-Islam karena sudah terjadi konvergensi politik. Partai-partai yang sebelumnya dianggap partai sekular ternyata didukung oleh banyak tokoh Islam. Itu sudah diprediksi Kuntowidjojo pada tahun 1990-an. Maknanya, sudah tidak lagi relevan bicara partai Islam dan partai sekular.
“Jadi yang terdistribusi itu pemilih suara Muslim. Regulasi politiknya memang senantiasa terbuka dan bagian dari demokrasi. Kita tak bisa membatasi atau melarang. Konsekuensinya partai terlalu besar segmentasinya, maka untuk pengambilan keputusan semakin kecil atau rumit,” paparnya.
Mengapa kue pemilih Islam yang kecil itu ternyata masih saja diperebutkan tokoh-tokoh Islam dengan mendirikan partai baru? Mu’ti menyatakan, pihaknya mendengar di antara mereka ada yang merasa tidak terakomodasi di partai lama atau ada kekecewaan. Tapi ada juga yang merasa bahwa perjuangan melalui jalur kultural diyakini tidak cukup efektif dan memakan waktu lama. Jadi alasannya ada yang bersifat ideologis, ada yang personal, dan ada juga yang praktis.
Baca sambungan di halaman 2: Mayoritas tapi Keok