Ada Muhammadiyah di Maroko, tapi Bukan PCIM, oleh Pradana Boy ZTF, Wakil Dekan I Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang.
PWMU.CO – Rabu, 1 Juni 2022 adalah hari ke-4 dari rangkaian kunjungan saya di Maroko sebagai anggota Jaringan Global di Bidang Agama dan Masyarakat atau Global Exchange on Religion in Society. Setelah sarapan pagi di Hotel Farah Rabat, tempat kami menginap, segera kami bersiap untuk melanjutkan kegiatan.
Seperti biasa, dua mobil van yang setia menemani perjalanan kami telah siap dan beberapa saat kemudian meluncur keluar pelataran hotel. Bus membelah ruas-ruas jalan Kota Rabat yang cantik, melewati kawasan kedutaan berbagai negara dan tempat tinggal para diplomat yang asri, hingga akhirnya sampai di sebuah kantor yang tidak terlalu besar, tetapi indah dan berada di kawasan yang lebih tinggi dari kawasan lainnya.
Betapa kaget saya. Kantor itu tidak lain adalah kantor Muhammadiyah Maroko. Ini Muhammadiyah, dan kegiatan kami hari ini akan sepenuhnya dijalankan di kantor ini.
Tapi tunggu dulu! Ini bukanlah Persyarikatan Muhammadiyah yang kita kenal di Indonesia. Bukan pula Persatuan Muhammadiyah di Penang, Malaysia atau Singapura seperti yang pernah kita dengar.
Bukan pula Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Maroko, yang memang sudah terbentuk. Nama lengkap organisasi ini adalah al-Rabithah al-Muhammadiyah li al-Ulama (RMU).
Organisasi ini mirip dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di negara kita. Kemiripan antara MUI dan RMU Maroko adalah bahwa keduanya merupakan wadah ulama di kedua negara, dan sama-sama merepresentasi suara negara dalam berbagai isu keagamaan. RMU dibentuk dan berada di bawah patronase Raja Muhammad VI, yang saat ini berkuasa.
Kedatangan kami ke kantor al-Rabithath al-Muhammadiyah li al-Ulama Maroko adalah untuk mengikuti Recontres Internationales des Toumliline 2022 atau Konferensi Internasional Rabithah Muhammadiyah Maroko tahun 2022.
Bicarakan Perdamaian dan Toleransi
Pukul 09.15 kami memasuki kantor Muhammadiyah Maroko, atau yang dalam ejaan Perancis ditulis dengan Rabita Mohammedia. Segera bergabung dengan peserta lain yang sudah hadir terlebih dahulu, saya menyaksikan konferensi ini terlihat sebagai forum-forum ilmiah pada umumnya. Tapi ada yang mengejutkan. Saya mengira bahasa Arab akan menjadi bahasa utama. Nyatanya, bahasa Perancis lebih banyak digunakan daripada bahasa Arab.
Dr Ahmed Abbadi, Sekretaris Jenderal Rabita Mohammedia memberikan pengantar singkat tentang konferensi ini. Moderator perempuan duduk di sebelah kiri Dr Abbadi, dan di sebelah kiri moderator adalah seorang bule berperawakan tinggi.
Saya seperti mengenal pria itu. Setelah mengingat beberapa saat, segera saya ingat. Ya, pria bule itu adalah Patrice Brodeaur. Meskipun tidak mengenal akrab, saya beberapa kali bertemu Patrice di Austria dan Malaysia dalam kapasitas sebagai duta perdamaian agama di King Abdullah bin Abdulaziz International Center for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID).
Patrice adalah pakar di bidang perdamaian dan dialog antaragama, seorang guru besar di Universitas Montreal, Kanada; dan rutin menjadi pemateri di training-training KAICIID.
Kehadiran Patrice dalam konferensi ini segera memahamkan saya tentang apa yang dibahas. Pasti tidak jauh-jauh dari isu perdamaian dan toleransi. Memang benar, Rabita Mohammedia Maroko, tahun ini mengusung tema al-Huffadh ala al-Dzakirah wa Naqluha li Tarsiihi Mafhumi al-Akhar, yang berarti bahwa topik utama konferensi ini adalah persoalan perdamaian di antara sesama manusia tanpa beban identitas-identitas primordial yang melekat dalam diri manusia.
Baca sambungan di halaman 2: Dunia Serbaparadoks