Membawa Semangat Berkurban di Luar Idul Adha; Oleh Dr Hidayatulloh MSi, Bendahara Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Umat Islam merayakan Idul Adha dengan mengumandangkan kalimat takbir, tahlil, dan tahmid. Selanjutnya menunaikan shalat dan menyembelih hewan kurban, di mana dagingnya dinikmati oleh pekurban dan anggota masyarakat lainnya. Bagi umat Islam yang mempunyai kemampuan berkurban disyariatkan untuk menunaikan ibadah kurban. Ibadah kurban ini dilakukan sebagai wujud kesyukurannya kepada Allah atas karunia nikmat yang sangat banyak (al-Kautsar: 1-3).
Perintah untuk berkurban ini terasa sangat kuat, sampai-sampai Rasulullah memberikan peringatan keras dan tegas kepada umatnya yang mempunyai kemampuan, tetapi tidak mau berkurban. Dalam hadis Rasulullah menegaskan: “Barang siapa yang memiliki kelapangan untuk berkurban namun dia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami” (HR Ibnu Majah, Ahmad dan al-Hakim).
Kepatuhan kita kepada Allah tidak cukup hanya dengan mendirikan shalat, tetapi harus sampai pada kemauan dan kesungguhan kita dalam menjalankan ibadah kurban. Berkurban menjadi salah satu indikator kepatuhan, ketundukan, dan kesungguhan kita di dalam menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.
“Berdasarkan data BPS September 2021, jumlah penduduk Indonesia yang miskin sebesar 26,5 juta jiwa.”
Pelajaran shalat dan berkurban mempunyai dimensi vertikal (hablun minallah) dan horisontal (hablun minannas). Semangat berkurban melahirkan semangat berbagi, berbagi kepada sesama manusia, terutama mereka yang kurang mampu, dan mereka yang membutuhkan. Semangat berkurban tidak hanya di waktu Iduladha sebagai hari raya kurban, tetapi juga di hari-hari lain di luar Idul Adha.
Angka Kemiskinan
Semangat berkurban ini perlu kita lanjutkan di luar Idul Adha, mengingat kondisi masyarakat Indonesia saat ini masih banyak yang miskin, sehingga perlu mendapat perhatian dan pertolongan. Keadaan ini bisa kita lihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2021 yang menyebutkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang miskin sebesar 26,5 juta jiwa (9,71 persen), dengan komposisi di perkotaan sebesar 11,86 juta (7,6 persen) dan di pedesaan sebesar 14,64 juta (12,53 persen).
Garis kemiskinan pada September 2021 tercatat sebesar Rp 486.168/kapita/bulan. Rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,5 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp 2.187.756/rumah tangga miskin/bulan.
“Dengan perhitungan ini jumlah penduduk miskin di Indonesia hampir dua kali lipat dari standar BPS.”
Ukuran kemiskinan yang dibuat BPS tidak sama dengan bank dunia. Jika kita menggunakan ukuran bank dunia, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia menjadi lebih banyak. Bank dunia membuat ukuran kemiskinan absolut dan kemiskinan menengah. Kemiskinan absolut terjadi jika pendapatan per orang di bawah USD $1/hari dan kemiskinan menengah terjadi jika pendapatan per orang di bawah $2 per hari.
Jika kita memakai ukuran $1,9/hari/orang dengan kurs saat ini (1 dollar = Rp 14.976), maka garis kemiskinan tercatat sebesar Rp 853.632/kapita/bulan. Dengan perhitungan ini jumlah penduduk miskin di Indonesia hampir dua kali lipat dari standar BPS.
Dari beberapa data di atas menunjukkan adanya persoalan serius yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Kondisi di atas tidak boleh dianggap biasa dan dibiarkan berlarut-larut. Oleh karena itu kita perlu membangun kesadaran baru dan segera dicarikan jalan keluar atas berbagai persoalan di atas.
Adanya ketimpangan itu mestinya tidak sampai terjadi jika semua pihak mempunyai kesadaran yang tinggi dan bersungguh-sungguh dalam memberi pertolongan kepada warga masyarakat yang kurang mampu. Pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemilik modal, dan pihak lain yang terkait, perlu menumbuhkan kesadaran baru untuk memberikan perhatian dan pertolongan kepada masyarakat yang miskin dan lemah.
Baca sambungan di halaman 2: Kesungguhan untuk Berubah