Kematian di Sekitar Kita, Bahkan di Dekatku; Oleh Humaiyah, Sekretraris Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Tanggul, Jember, Jawa Timur.
PWMU.CO – Semenjak menjalani rawat inap di Ruang Adenium—ruang kelas tiga—RS Dr Soebandi Jember, Kamis (27/7/2022), aku menempati tempat tidur nomor dua di selasar sebelah kiri.
Kala itu kulihat ruangan yang beirisi 20 pasien tersebut penuh. Termasuk kulihat dua perempuan setengah baya sedang menunggu seorang ibu tua, yang persis menempati tempat tidur di depanku. Pasti mereka sedang menungggu ibunya, pikirku.
Saat aku datang kondisi ibu tersebut sudah koma. Keadaannya hanya terpantau oleh beraneka alat medis yang dipasang di tubuhnya. Kadang kala dua perempuan itu berbincang, kadang menahan tangis sambil menengadahkan tangan.
Kadang tersenyum melihat dua jagoanku: Husni Abadi Emha dan Jundi Madani Emha, yang merawatku dengan penuh gurau. Hingga salah satu dari mereka bertanya, ”Anaknya kembar Nduk?”
Mendengar itu, Husni, sulungku tertawa. “Itu Dik, berarti kamu yang cepat tua. Padahal kita kan beda lima tahun, dikira kembar,” kata Husni. Jundi yang mendengar hanya tersenyum.
Kamis malam, beberapa tamu menjenguk nenek koma itu. Entah kenapa, tamu itu membacakan doa bersama-sama. Saat itu aku berpikir, apakah sudah dekat waktu nenek kembali ke haribaan-Nya. Dengan refleks aku pun memanjatkan doa untuk nenek. Tak lama rombongan itupun memohon diri. Kembali dua perempuan itu melakukan aktivitas seperti sedia kala.
Waktu di HP menunjukkan pukul 20.30. Ibu berkaos hijau yang menunggu putrinya sebelah kiri nenek koma seperti tergopoh-gopoh. Dia lalu mendekati si nenek. Menggoyang-goyangkan badannya. Kemudian bergegas lari ke ruang petugas. “Tadeklah, tadeklah si embah (si nenek) sudah meninggal,” ucapnya.
Beberapa petugas menghampiri si nenek. Menutup tirai pembatas.Tak lama salah satu perempuan itu berkata, “Budhe sudah meninggal,” ucapnya sambil menangis terisak. Budhe? Berarti mereka bukan putri-putrinya.
Satu menit berselang, seorang lelaki memasuki ruangan. Salah satu perempuan itu menghampriri pria berjaket cokelat itu. “Budhe sudah meninggal,” ucapnya. Pria itu yang ternyata anak satu-satunya menunjukkan wajah lesu, sedih, dan menyesal. Hanya berselang tak lebih dari lima menit, antara kedatangannya dan kematian ibunya. Dia pun melihat ibunya berkali-kali tanpa mengucapkan kata sedikit pun.
Baca sambungan di halaman 2: Kematian Datang Lagi