Jika Masjid Itu Punya Muhammadiyah Jangan Dikatakan Ini Milik Allah; Liputan Ain Nurwindasari, Kontributor PWMU.CO Gresik.
PWMU.CO – Toleransi di Muhammadiyah itu sudah dibangun dan dirumuskan pada tahun 1930-an. Demikian ditegaskan oleh Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr M. Saad Ibrahim MAdalam materinya Islam Wasathiyah di acara Bimtek LDK PWM Jawa Timur, di Hotel Horison, Gresik, Sabtu (27/08/2022).
“Inilah fatwa yang berdasarkan dalil yang terkuat dan penggunaan manhaj yang paling tepat. Sekalipun demikian, jika di kemudian hari ditemukan dalil yang lebih kuat lagi, manhaj yang lebih tepat lagi. Maka inilah pendapat yang kami yakini kemungkinan besar benar. Oleh karena itu tidak bisa menghakimi pendapat lain pasti salah. Jadi kembali ke soal tadi, ada toleran, ada intoleran,” terang Saad mencontohkan penerapan toleransi oleh Muhammadiyah.
Namun demikian, menurut Saad, dalam beberapa hal sikap toleran Muhammadiyah justru disalahartikan oleh pihak lain yang berusaha memanfaatkan apa yang dimiliki oleh Muhammadiyah.
“Yang kita tidak mau itu yang AUM (amal usaha Muhammadiyah) kita itu diambil (oleh orang lain), sehingga kita harus strength dalam kaitan ini. Mereka punya dalil ‘masjid itu punya Allah, punya semuanya’. Ya sama dengan hotel ini milik Allah. Nggak ngerti bahwa bumi dan seisinya itu diserahkan kepada manusia,” terangnya.
Saad menjelaskan bahwa ada kepemilikan yang diberikan oleh Allah kepada manusia di muka bumi. “Maka demikian jika masjid itu milik Muhammadiyah jangan dikatakan ini milik Allah, silakan kalau mau shalat di situ. Semuanya boleh,” jelasnya.
Saad lantas kembali menjelaskan terkait pengamalan prinsip wasathiah dalam Islam. “Secara nash, kita harus menghadap ke arah kiblat, secara saintifik diukur menghadap kiblat, tapi dalam pelaksanaannya kita menggunakan instuisi di situ. Karena pandangan kita bergeser sedikit saja itu sudah kemungkinan kita entah menghadap mana, bukan ke Ka’bah lagi,” paparnya.
Dalam pelaksanaan wudhu misalnya, Saad menambahkan, masih ada prinsip wasathi yang diterapkan. Contohnya ketika membasuh tangan, atas dasar teks ayat ‘ilal marafiqi’ maka banyak orang yang tidak menerima wudhu yang dilakukan dengan membasuh tangan mulai siku. Padahal menurut Abu Hanifah, menjeburkan diri ke kolam itu sudah mencukupi wudhu.
“Jadi yang penting nggak ngurangi, tapi lebih itu hampir pasti,” terangnya.
Saad juga menjelaskan keterkaitan wacana Islam wasathiah dengan munculnya teroris. “Sudah pasti Muhammadiyah tidak setuju dengan adanya teroris. Hanya kita harus jernih berpikir, bahwa itu bukan fenomena yang semata-mata muncul di kalangan umat Islam. Itu muncul di mana-mana baik Muslim maupun non-muslim,” ungkapnya.
Selain itu, menurut Saad, Islam wasathiyah sering dikaitkan juga dengan isu radikalisme. “Ada radikal tapi tidak semua radikal harus kita tolak. Riba haram itu radikal. Radikal itu bagian dari pemikiran filsafat. Karena berfikir filosofis itu yang pertama radikal,” tandasnya.(*)
Editor Mohammad Nurfatoni