Pesantren Muhammadiyah Harus Miliki Budaya Khas; Liputan kontributor PWMU.CO Dadang Prabowo
PWMU.CO – Pesantren Muhammadiyah harus memiliki dan mengembangkan budaya pesantren yang berbeda dengan pesantren di luar Muhammadiyah.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren (LPP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PPM), Dr Maskuri, MEd pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) V LPP PPM di Universitas Muhammadiyah Malang, Rabu (31/8/22).
Rakornas yang mengambil tema: ‘Pengembangan Budaya Pesantren Muhammadiyah Menghadapi Tantangan Masa Depan’, bagi Maskuri sangat penting. Hal itu lanjutnya untuk menjawab pertanyaan banyak orang yang menananyakan tentang ciri khas pesantren Muhammadiyah.
“Pertanyaan tersebut perlu dijawab,” ujarnya.
Jawaban seperti itu (ciri khas pesantren Muhammadiyah) kata Maskuri sangat penting, terutama bagi pemangku pesantren Muhammadiyah.
Setelah (pemangku pesantren) memiliki pemahaman yang sama tentang budaya pesantren Muhammadiyah, agar mereka menerapkan di pesantrennya masing-masing.
“Agar lulusan-lulusan pesantren Muhammadiyah memiliki pola pikir dan tindakan yang sesuai dengan visi dan misi persyarikatan Muhammadiyah,” ungkapnya.
Tantangan Pesantren Muhammadiyah
Dr Maskuri menyampaikan jumlah pesantren Muhammadiyah mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Waktu seminar pramuktamar di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) pada (6/8/22), berjumlah 425 pesantren. Dan saat ini ungkapnya bertambah menjadi 440 pesantren.
“Bertambah 15 pesantren dalam waktu kurang dari satu bulan. Ini belum yang terdaftar. Ketika kami minta membuat profil pesantren masing-masing (sebelum Rakornas V) , ada pesantren baru yang nambah. Jadi setiap hari ada pesantren yang berdiri,” paparnya.
Dari perkembangan yang pesat ini, ungkapnya, kesadaran warga Muhammadiyah terhadap pesantren sangat tinggi. Dan ini adalah masa kebangkitan pesantren Muhammadiyah.
Menurutnya pesantren Muhammadiyah merupakan wadah penyemaian kader persyarikatan Muhammadiyah, yang memiliki pondasi dan pemahaman keagamaan Islam yang kuat. Namun, seiring dengan bertambahnya pesantren ada beberapa tantangan yang perlu segera direspon.
Pertama, jumlah ustadz dan ustadzah tidak cukup memadai untuk mengelola pesantren yang jumlahnya sangat pesat itu.
“Saya kira PUPM (Pendidikan Ustadz Pesantren Muhammadiyah) perlu dikembangkan di perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) di Jawa yang pernah bekerja sama dengan Asia Muslim Charity Foundation (AMCF), karena sudah siap SDM-nya,” paparnya.
Penguasaan Bahasa Arab
Kedua, kelemahan ustadz dan ustadzah dalam penguasaan bahasa Arab Karena itu, lanjutnya dia menyarankan supaya ustadz dan ustadzah di pesantren Muhammadiyah melanjutkan pendidikan perguruan tinggi.
“Saat ini banyak peluang beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi, baik di kementerian agama dan kementerian keuangan. Di Kementerian Agama ada program beasiswa santri berprestasi (PBSB) dan di kementerian keuangan ada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPD),” tuturnya.
Keempat, ustadz dan ustadzah di pesantren Muhammadiyah bukan hasil didikan dari Muhammadiyah. Sehingga banyak pesantren Muhammadiyah yang rasanya bukan rasa Muhammadiyah.
Kelima, adalah peningkatan manajemen pesantren. Menurut Maskuri, pesantren Muhammadiyah harus dikelola dengan profesional sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk itu perlu penyiapan mudir pesantren.
“Kalau di sekolah dan madrasah ada pelatihan khusus kepala. Lha di pesantren harus ada diklat khusus untuk pesantren,” katanya.
Dia menegaskan, mudir pesantren Muhammadiyah harus disiapkan dari sekarang sehingga ketika seorang ustadz mendapatkan amanah sebagai mudir, dia sudah mengetahui keterampilan dan kemampuan tentang manajemen pesantren. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni