Mengkritisi Muhammadiyah sebagai Tenda Besar Gerakan Dakwah Kultural; Liputan Miftahul Ilmi wartawan Matan, kontributor PWMU.CO.
PWMU.CO – Sering disebutkan, Muhammadiyah telah memerankan dirinya sebagai tenda besar bagi seluruh elemen masyarakat. Kerja-kerja individual dan institusionalnya juga selaras dengan tantangan zaman. Bahkan, ada yang menyebut mendahului atau melampaui zamannya tanpa batas. Batas-batas geografis maupun primordial, seperti agama, suku, ras, ekonomi, politik, dan pendidikan. Dalam hal ini, dakwah kultural yang memandang masyarakat sebagai realitas objektif didekati secara solutif, akomodatif, dan kreatif. Namun, muncul pertanyaan: apakah dakwah kultural itu telah berjalan secara ideal?
Prof Dr Zainuddin Maliki, Anggota DPR RI, menyimpulkan, kunci penting Muhammadiyah dapat bertahan sebagai tenda besar hingga kini di tengah keragaman yang makin kompleks adalah karena pesan-pesan dakwah yang disampaikan sangat inklusif, yakni pesan untuk membangun kebaikan bersama.
“Muhammadiyah dalam banyak hal berhasil melakukan pembebasan masyarakat dari berbagai belenggu struktural maupun kultural yang menghambat pengembangan dan mobilitas sosial. Pembebasan itu dilakukan melalui penguatan iman dan mentalitas masyarakat, perluasan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian dituangkan dalam berbagai bentuk amal usaha nyata,” jelasnya.
Dengan berbagai bentuk dakwah kultural yang dilakukan oleh Muhammadiyah tersebut, lanjut anggota Komisi X ini, bangsa Indonesia menyaksikan munculnya warga Persyarikatan dan masyarakat luas yang berkesadaran literasi tinggi, memiliki modal sosial dan etos kerja untuk tumbuh menjadi masyarakat yang berkecukupan, dan tumbuh masyarakat kelas menengah yang terdidik bermental kuat, sebagai sebuah syarat yang dibutuhkan bagi tumbuhnya bangsa yang kuat dan berkemajuan.
“Pada konteks ini Muhammadiyah kaya ide-ide kebangsaan, karena di tubuh Persyarikatan banyak guru-guru bangsa. Tetapi ide-ide kebangsaan itu hanya akan mewujud menjadi realitas jika dikawal oleh politik kekuasaan. Oleh karena itu Muhammadiyah harus bisa mengartikulasikan gagasan-gagasan kebangsaan yang cerdas dan visioner itu dan mengkomunikasikan kepada pemegang kekuatan politik yang ada di negeri ini,” sarannya.
Memproduksi Politik Kekuasaan dan Gagasan
Harus diakui, lanjut Anggota Fraksi PAN itu, saat ini tingkat legitimasi pemegang politik kekuasaan, apakah itu eksekutif maupun legislatif, jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat. Keadaan ini semakin memberi penguatan kepada elite Persyarikatan yang ingin mengambil strategi political disengagement mengambil jarak dan menjauhi politik. Namun apa mau dikata, tanpa politik kekuasaan gagasan betapapun idealnya politik kebangsaan itu hanya akan menjadi utopia karena tidak bisa diwujudkan.
Oleh karena itu jika Persyarikatan mengambil jarak dan menjauhi politik kekuasaan maka yang akan terjadi adalah munculnya kekuatan yang justru menghambat upaya membangun sistem dan budaya politik nilai sebagai pijakan sebuah sistem demokrasi yang ideal, katanya.
Sejauh pengamatan Zainuddin, sistem dan budaya politik yang kita hadapi cenderung transaksional sehingga politik kekuasaan dipegang oleh elite pragmatis. Mudah dimaklumi jika kemudian politik undang-undang, distribusi dan alokasi kekuasaan, anggaran dan sumber-sumber daya langka di negeri ini dikendalikan oleh kekuatan pragmatis.
Sebab itu, dia menyarankan, di tengah-tengah lemahnya tingkat legitimasi politik kekuasaan, maka di samping harus terus memproduksi dan mereproduksi gagasan politik nilai dan politik kebangsaan, Muhammadiyah masih harus dituntut untuk memiliki kemampuan menghindari jatuhnya politik kekuasaan ke tangan manusia-manusia pragmatis.
“Untuk kebutuhan itu Muhammadiyah harus ambil bagian yang jelas dalam upaya memunculkan lahirnya pemegang pemegang politik kekuasaan yang memiliki komitmen kepada nilai-nilai, budaya, dan sistem politik yang ideal. Melalui politisi-politisi yang memiliki komitmen terhadap tumbuh berkembangnya politik nilai itulah maka Muhammadiyah akan dengan mudah mengintervensikan gagasan politik nilai dan politik kebangsaannya itu kepada para pemegang politik kekuasaan. Dengan langkah-langkah seperti inilah gagasan ideal politik kebangsaan yang diimpikan oleh Muhammadiyah kemudian dijadikan pijakan para pemegang politik kekuasaa,” tandasnya.
Muhammadiyah Kini Terkesan Anti Budaya
Sekretaris Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya Sholikhul Huda berpendapat, Muhammadiyah bisa tetap eksis sampai sekarang ini dikarenakan pola dakwahnya pada zaman dulu yang akomodatif dengan budaya. Pola inilah yang diajarkan KH Ahmad Dahlan yang kemudian menjadi basis pondasi awal pergerakan dakwah Muhammadiyah.
“Dakwah yang ditanamkan KH. Ahmad Dahlan itu sangat akomodatif dengan kultur yang ada di masyarakat saat itu. Sehingga Muhammadiyah bisa eksis sampai sekarang, karena pendekatan yang digunakan lebih kepada sosial kebudayaan ketimbang teologi ibadah. Seperti memberi makan anak yatim dan pendekatan kesenian. Itu menjadi pondasi yang sangat kuat sehingga Muhammadiyah bisa fleksibel di tengah-tengah masyarakat. Begitulah awal berdirinya,” ungkapnya.
Namun seiring berjalannya waktu, lanjut Sholikhul Huda, pola-pola dakwah Muhammadiyah mengalami pergeseran besar semenjak dipegang oleh alumni-alumni dari Timur Tengah. Akhirnya polah dakwah Muhammadiyah yang sekarang terkesan antibudaya, sebagai akibat dari pemikiran yang sangat literalistik. Pemikiran itu berbanding terbalik dengan KH Ahmad Dahlan yang melakukan relasi individu, sosial, dan politik dengan sangat terbuka, inklusif dan bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak.
“Faktanya kini pola-pola tersebut banyak terdistorsi. Banyak persepsi dari para pemikir, para ilmuwan dan para sarjana yang menganggap Muhammadiyah ini pola dakwahnya agak kaku pada kebudayaan. Efeknya itu berdampak pada relasi sosial di masyarakat bawah yang sering terjadi konflik ritual kebudayaan, misalnya selametan dan tahlilan,” terangnya.
“Muhammadiyah pernah merumuskan dakwah kultural. Itu sebenarnya respon dari ketekanan-ketekanan kebudayaan di masyarakat bawah oleh pola-pola dakwah yang dibawakan Muhammadiyah, sehingga terjadi gesekan. Dari situlah kemudian Muhammadiyah berusaha meluruskan kembali pola dakwahnya agar menjadi lebih arif, bersahabat, dan bersinergi dalam konteks kebudayaan,” paparnya.
Perlu Bedakan Ranah Budaya dan Teologi
Menurut dia, harus ada rekonstruksi paradigma dalam melihat dan menerjemahkan antara budaya dan teologi. Supaya para kader Muhammadiyah dapat membedakan antara ranah teologi dan budaya. Karena, masih banyak kader Persyarikatan yang belum bisa membedakan itu. Yang seharusnya budaya malah dipahami dan diukur secara teologi, dan sebaliknya.
“Ini yang membuat rancu. Misalnya ritual-ritual masyarakat Muslim pedesaan terkait sedekah bumi. Bagi mereka itu adalah ritual (yang bernilai) kebudayaan sebagai wujud syukur. Tapi di lain pihak malah yang demikian itu dipandang secara teologi. Dalam konteks ini kita perlu mengonstruksi paradigma dalam melihat kebudayaan,” jelas dia.
Kedua, sambung dia, adalah rekonsturksi sikap teologi dan sikap sosial. Sekarang ini masyarakat harus bisa membedakan antara sikap teologi dan sosial. Dengan perkembangan dan tantangan masyarakat yang berbeda, hari ini yang perlu dikembangan di organisasi keagamaana adalah pola kolaborasi sikap sosial. Tujuannya untuk memperkecil perbedaan dan memperbesar persamaan.
“TBC yang perlu diwaspadai itu dalam konteks (yang bercampur dengan) teologi, bukan TBC sosial. Contohnya apakah semua yang punya keris itu syirik? Padahal keris itu sebagai koleksi kesenian saja. Inilah yang saya kira Muhammadiyah perlu membuka ruang yang luas dalam memandang fenomena sosial,” ujarnya.
Hemat dia, pendekatan (dakwah) kultural dalam era sekarang yang paling efektif bukan menggunakan pola-pola yang lama. Tapi pendekatan secara digital. Pola kultural perlu dikawinkan dengan digital. Dakwah Muhammadiyah harus berbentuk konten-konten kebudayaan yang diarahkan di dunia maya.
“Menurut saya, Muhammadiyah harus terbuka dalam memahami kebudayaan dan teologi. Perlu ada pengkajian lebih dalam membedakan mana TBC teologi dan mana TBC kebudayaan. Sehingga Muhammadiyah yang selama ini dianggap antikebudayaan, itu minimal bisa memanfaatkan kebudayaan sebagai metode dakwah. Jadi sudah bagus itu ada dakwah kultural, cuma problemnya adalah pengaplikasian di lapangan itu yang kurang maksimal. Saya kira ini perlu didorong lagi di Muktamar Ke-48 Muhammadiyah untuk bagaimana kita mengimplementasi dakwah multikultural di tengah disrupsi masyarakat revolusi industri 4.0,” pungkasnya.
Lalu, seperti apa dakwah kultural Muhammadiyah di era digital ini? Ulasan selengkapnya baca di majalah Matan Edisi September 2022. Info pemesanan: Okie Indiarto +62 881-3109-662 (*)
Mengkritisi Muhammadiyah sebagai Tenda Besar Gerakan Dakwah Kultural; Editor Mohammad Nurfatoni