Hukum Suap-menyuap untuk Menjadi PNS dan Lain-Lain; Kajian oleh Dr Aji Damanuri, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Tulungagung; Dosen IAIN Ponorogo.
PWMU.CO – Suap-menyuap telah menjadi budaya dalam berbagai bidang. Banyak orang ingin memuluskan jalan menjadi pegawai, melancarkan pengurusan izin usaha, mengesahkan aturan, bahkan untuk masuk menjadi mahasiswa juga melalui proses suap-menyuap.
Banyak pejabat publik masuk penjara karena terbukti menerima suap. Masyarakat umum juga biasa menerima suap dalam pilkada berdalih uang lelah ke TPS, memang ironi, bagaimana orang menggunakan hak minta bayaran.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam rublik tanya jawab pernah meneripa pertanyaan bagaimana hukum menjadi pegawai dengan cara menyuap. Karena itulah perlu kita bahas lagi agar warga dan khalayak umum yang sudah lazim dengan budaya suap ini memahami bagaimana Islam melarang praktik suap menyuap.
Hukum suap ini paling tidak menyangkut dua hal, yaitu, pertama hukum proses suap dan kedua status gaji yang diterima selama bekerja yang diperoleh melalui jalan suap.
Pada umumnya, orang yang memberikan sejumlah uang atau harta dengan cara tidak resmi dan dengan tujuan supaya berhasil menjadi pegawai negeri sipil (PNS), mislanya, disebut penyuap dan ia berdosa karena melakukan hal yang diharamkan oleh syariat Islam.
Dalilnya, firman Allah berikut: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah (2): 188)
Sedangkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW menegaskan sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَعَنَ اللهُ الرَّاشِي وَاْلمُرْتَشِي. [رواه ابن حبان]
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru katanya: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap’.” (HR. Ibn Hibban).
Selain itu, para ulama telah berijma’ bahwa suap-menyuap itu hukumnya haram. Di antara yang meriwayatkan adanya ijma’ atas pengharaman suap-menyuap adalah as-Syaukani dan as-San’ani. Kolusi suap ini bisa terjadi pada perubahan persyaratan, penambahan kuota, perluasan bidang, dan lain-lain.
Beberapa Jenis Suap Jadi PNS
Pemberi sejumlah uang atau benda lain dalam hal menjadi PNS ini, dapat dirinci menjadi dua kelompok:
Pertama, orang yang tidak berhak atas pekerjaan yang dikehendakinya karena dia tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Misalnya, seorang lulusan S-1 memberikan sejumlah uang atau benda lain untuk diterima menjadi PNS, padahal syaratnya adalah lulusan S-2.
Kedua, orang yang berhak atas pekerjaan tersebut karena telah memenuhi syarat-syaratnya, dan kemudian akan diseleksi untuk menentukan siapa yang diterima. Misalnya, dalam suatu pendaftaran calon PNS dibutuhkan 20 orang, namun pendaftar yang memenuhi syarat berjumlah 150 orang. Di antara mereka, ada yang memberikan sejumlah uang atau benda lain agar masuk dalam 20 orang yang diterima.
Kelompok pertama jelas melakukan sesuatu yang diharamkan karena melakukan suap atas sesuatu yang bukan haknya dan ini berarti merampas hak orang lain (mendzalimi orang lain).
Sementara kelompok kedua yang berhak atas pekerjaan tersebut dapat dirinci lagi menjadi dua bentuk, yaitu: pertama, jika memberikan sejumlah uang atau benda lain itu dilakukan supaya bisa mengalahkan pesaing-pesaingnya sebelum pengumuman penerimaan, maka orang ini telah melakukan sesuatu yang haram, sama dengan kelompok pertama.
Kedua, jika memberikan sejumlah uang atau benda lain itu karena kalau tidak melakukannya dia tidak akan mendapatkan haknya, padahal dia termasuk dalam 20 orang yang diterima, maka orang ini sebenarnya tidak berniat dan tidak suka melakukan itu, tapi karena ada oknum yang menghalangi haknya menjadi PNS maka terpaksa dia melakukannya.
Menurut sebagian ulama, orang yang melakukan bentuk kedua ini tidak berdosa, karena melakukannya dengan terpaksa, jika tidak melakukan dia tidak akan mendapatkan haknya. Orang tersebut justru menjadi korban pemerasan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Tapi, menurut sebagian ulama yang lain memberikan sejumlah uang atau benda lain seperti disebutkan di atas, dalam bentuk dan keadaan apapun, termasuk suap dan tetap diharamkan karena dalil pengharaman suap itu umum, tidak ada yang mengkhususkannya. (lihat Nailul Authar, 9/172). Dalam hal ini, kami menasihatkan agar suap-menyuap itu dijauhi sedapat mungkin karena ia banyak menimbulkan kerusakan pada akhlak masyarakat dan sistem pemerintahan.
Berdasarkan rincian pada poin di atas, hukum menerima gaji PNS yang cara masuknya ada unsur suap dapat dibedakan seperti berikut; Pertama, orang yang tidak berhak atas pekerjaan yang dikehendakinya karena dia tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, tetapi mendapatkannya juga karena suap, maka orang ini haram menerima gajinya.
Kedua, orang yang berhak atas pekerjaan tersebut karena telah memenuhi syarat-syaratnya kemudian memberikan sejumlah uang atau benda lain supaya bisa mengalahkan pesaing-pesaingnya sebelum pengumuman penerimaan, orang ini berhak atas gajinya karena dia telah bekerja sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku, tetapi tetap berdosa karena cara masuknya menzalimi orang lain dengan menyuap.
Ketiga, orang yang berhak atas pekerjaannya sebagai PNS dan dia menjadi PNS dengan memberikan sejumlah uang atau benda lain karena terpaksa, kalau tidak memberikannya dia tidak akan mendapatkan haknya padahal sudah jelas ia diterima menjadi PNS, orang ini berhak atas gajinya dan gajinya itu halal.
Cara Bertobat
Cara bertobat bagi PNS yang sudah terlanjur bekerja dan menerima gaji sedangkan dia masuk dengan cara suap yang diharamkan adalah dengan menyesali perbuatannya itu, berjanji tidak akan mengulanginya, memohon ampun kepada Allah, lalu melepaskan jabatannya itu dan mencari pekerjaan lain yang memberinya upah atau gaji yang halal.
Dan bagi orang yang berhak atas pekerjaan tersebut tapi dia mendapatkannya dengan cara suap, cara bertaubatnya adalah dengan menyesali perbuatannya itu, berjanji tidak akan mengulanginya, memohon ampun kepada Allah dan bekerja dengan sebaik-baiknya disertai dengan banyak berinfak di jalan Allah. Cara yang paling bertanggung jawab adalah keluar dari PNS dan mencari rezeki lain yang lebih berkah dengan cara yang benar.
Adapun memberikan sejumlah uang atau benda lain kepada seseorang yang membuat kita masuk menjadi PNS setelah SK turun tanpa ada perjanjian/ pemaksaan sebelumnya itu dibolehkan. Bahkan hal itu dianjurkan karena itu adalah sebagai tanda terima kasih kita atas kebaikannya kepada kita. Allah mengajari kita untuk membalas kebaikan dengan kebaikan dalam firmanNya:
Artinya: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (ar-Rahman (55): 60). Namun lebih baik lagi jika tidak spesifik memberikan sesuatu kepada seseorang, namun lebih umum dalam bentuk tasyakuran dengan berinfak ke masjid, panti asuhan, para dhuafa atau membagikan makannan kepada sanak saudara dan teman.
Dan Nabi SAW juga mengajarkan hal yang sama, sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ لاَ يَشْكُرُ اللهَ. [رواه الترمذي]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ‘Barangsiapa tidak berterima kasih kepada orang lain berarti tidak bersyukur kepada Allah’.” (HR at-Tirmidzi)
Namun perlu ditekankan di sini, bahwa memberi hadiah kepada pejabat atau pegawai yang membuat kita bisa lolos menjadi PNS itu sebaiknya dihindari, karena di samping termasuk salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang Tipikor hal ini masuk dalam gratifikasi. Hal ini sebagai bentuk pencegahan yang mengarah pada tidak objektifnya seorang pejabat membuat kebijakan karena hadiah yang banyak, juga dikhawatirkan termasuk dalam larangan Nabi saw dalam hadis berikut:
عَنِ الزُّهْرِي أَنَّهُ سَمِعَ عُرْوَةَ أَخْبَرَنَا أَبُو حُمَيْدِ السَّاعِدِي قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً مِنَ بَنَي أَسَدٍ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اْلأُتْبِيَّةِ عَلَى صَدَقَةٍ فَلَمَّا قَدَمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سُفْيَانُ أَيْضًا فَصَعَدَ اْلمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللهُ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِي فهلا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرَ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَأْتِي بِشَيْءٍ إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتِي إِبْطِيهِ أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلاَثًا. [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Zuhri bahwa dia mendengar Urwah berkata: Abu Humaid as-Saidi berkata: Nabi saw menjadikan seorang laki-laki dari Bani Asad yang disebut Ibn al-Utbiyah sebagai pegawai (pemungut) zakat. Ketika kembali dia berkata: “Ini untukmu, dan ini dihadiahkan kepadaku”. Maka Nabi SAW. segera berdiri di atas mimbar. Sufyan juga berkata: Maka beliau segera naik mimbar lalu memuji dan memuja Allah lalu bersabda: “Bagaimana perilaku pegawai yang kami utus lalu kembali dengan mengatakan: “Ini untukmu dan ini untukku. Tidakkah ia duduk saja di rumah ayah atau ibunya lalu melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak?
Demi Zat yang jiwaku ada di tanganNya, pegawai itu tidak mengambil sesuatu (yang bukan haknya) melainkan pada hari kiamat akan dikalungkannya di lehernya: Jika yang diambilnya itu onta maka ia akan mempunyai suara onta. Jika yang diambilnya sapi betina maka ia akan mempunyai suara sapi betina. Dan jika yang diambilnya itu kambing maka ia akan mempunyai suara kambing”.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat bulu kedua ketiaknya. “Sungguh aku telah menyampaikan.” Beliau mengucapkannya tiga kali”.” (HR al-Bukhari)
Jalan terbaik bagi seorang Muslim adalah menghindarkan diri dari perilaku suap. Ketika kita masuk dalam bursa kerja dengan cara suap pada hakikatnya akan mendzalimi orang lain yang sebenarnya lebih berhak karena memenuhi syarat.
Dosa ini sulit untuk kita mintakan maaf karena kita tidak tau siapa orang yang telah kita depak dari haknya karena suap. Islam mengajarkan memperoleh pekerjaan dengan cara yang baik, bekerja dengan cara yang baik, dan mengakhiri pekerjaan dengan cara yang baik. H
idup ini bukan soal seberapa harta yang kita peroleh, namun juga seberapa berkah penghasilan yang kita dapat. Secara teologis meskipun islam tidak menganal hokum karma, namun dalam beberapa ayat disebutkan bahwa kita memperoleh sesuatu dari apa yang kita perbuat. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni