PWMU.CO– Angka stunting Bojonegoro sebanyak 23,9 persen pada Survey Status Gizi Indonesia 2021. Kabupaten ini juga mencatat angka perkawinan anak cukup tinggi dilihat dari anak yang mengajukan dispensasi nikah.
Data itu terungkap dalam diskusi diseminasi hasil assesmen program inklusi yang diadakan Aisyiyah dan Pemkab Bojonegoro secara virtual, Rabu (14/9/2022).
Asesmen telah dilakukan oleh peneliti Pusat Inklusi Aisyiyah wilayah dan daerah yang dilaksanakan pada 27-30 Juni 2022 lalu.
Dini Yuniarti, peneliti Pusat Inklusi Aisyiyah, menjelaskan, penyebab tingginya angka stunting antara lain kondisi ekonomi menyebabkan terbatasnya kemampuan mendapatkan gizi yang baik, pola asuh yang kurang tepat, riwayat kesehatan seperti terlalu dekatnya jarak kehamilan atau kehamilan tidak diinginkan, mitos leluhur seperti ada larangan makanan tertentu padahal baik untuk gizi anak dan ibu hamil.
”Juga soal gender yaitu pola pikir bahwa tugas pengasuhan anak hanya tugas istri, kemudian tentang sanitasi buruk, dan rendahnya Pola Hidup Bersih dan Sehat, dan kurangnya akses layanan kesehatan,” kata Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UAD (Universitas Ahmad Dahlan) Yogyakarta ini.
Perkawinan Dini
Sementara Ketua Pengadilan Agama Bojonegoro Maftuh Basuni menyebutkan, Bojonegoro menempati ranking 1 tingkat rayon dan ranking 3 di Jawa Timur untuk perkawinan anak.
”Jumlah dispensasi perkawinan anak yang disetujui Pengadilan Agama selama periode Januari – Juni 2022 sebanyak 287,” katanya.
Dia menjelaskan, permohonan pengajuan dispensasi nikah di usia anak hingga pekan pertama di bulan September tahun 2022 kurang lebih ada 505 perkara.
Dia menyebutkan, ada empat macam kriteria yang menjadi sebab adanya pengajuan dispensasi nikah yaitu pendidikan, kesehatan, teknologi, dan budaya.
”Seperti kita tahu 40 persen Kabupaten Bojonegoro merupakan daerah perhutanan khususnya di daerah pinggiran banyak masyarakatnya yang hanya tamat SD. Padahal pemerintah mencanangkan wajib belajar 12 tahun,” ujarnya.
Yang kedua faktor kesehatan, sambungnya. Namun dalam hal ini kami menggandeng DP3AKB untuk membantu memberikan konseling terhadap para calon pengantin.
Kemudian faktor teknologi. Maraknya konten-konten yang cukup memprihatinkan menyebabkan banyak anak-anak yang mempraktikkan apa yang dilihatnya di media sosial. ”25 persen di antara anak-anak itu positif hamil,” ujarnya.
Juga ada faktor budaya. Ketika pasangan sudah resmi bertunangan, jelas Maftuh Basuni, calon pengantin laki-laki sudah boleh tinggal di tempat istri. ”Istilahnya adalah ambruk di rumah mertua padahal belum resmi menikah,” tuturnya.
Melihat kondisi seperti ini pihaknya menegaskan harus ada yang mencegah karena sejauh ini Pengadilan Agama hanya menjadi pihak yang bertugas menyelesaikan. Dia berharap ada kerja sama yang baik dari Pemda, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi dan dinas terkait untuk mencegah terjadinya perkawinan anak.
Koordinasi
Nelly Asnifati, Koordinator Program Inklusi Jawa Timur yang juga Sekretaris Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur menyebutkan, beberapa waktu lalu telah berkoordinasi dengan Bappeda serta DP3AKB untuk membahas program inklusi.
Pihaknya juga menyebutkan, PWA juga masuk dalam tim pencegahan stunting di Jawa Timur. Program inklusi ini salah satu bentuk kepedulian Aisyiyah terhadap isu utama yang menjadi fokus perhatian pemerintah.
Kepala Bappeda Kabupaten Bojonegoro M. Anwar Mukhtadlo menyampaikan pujian terhadap program Aisyiyah ini.
Acara diseminasi dihadiri staf Dinsos, Bappeda, Pengadilan Agama, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB), Disperindagkop, dan Dinkes Jatim.
Penulis Ridia Septiria Editor Sugeng Purwanto