Tantangan Improvisasi dengan Kurikulum Merdeka oleh Eli Syarifah, Guru SD Alam Muhammadiyah Kedanyang Gresik.
PWMU.CO– Membuka tahun ajaran baru 2022 ini, para pendidik diberi tantangan besar dengan diberlakukan Kurikulum Merdeka. Pelatihan dan workshop dilaksanakan berbagai lembaga untuk menyambut datangnya kurikulum ini.
Pergantian kurikulum sudah biasa terjadi. Tetapi pasca pandemi Covid-19 terjadi banyak perubahan luar biasa pada dunia pendidikan. Guru merasakan sekali terjadinya perubahan pola ajar dan pola didik itu.
Dua tahun di masa pandemi siswa terbiasa pembelajaran daring (dalam jarigan) yang nyantai. Seperti saat pembelajaranlewat Zoom bisa sambil makan, kamera dimatikan, atau tertidur. Yang mengerjakan soal adalah sang ibu. Fakta seperti itu nyataditemukan di kalangan siswa.
Tak heran tetiba masuk sekolah kembali yang full day, siswa mengeluh sehingga tidak maksimal menjalani pembelajaran. Inilah yang menjadikan salah satu dalil bagi Kemendikmud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) untuk melahirkan Kurikulum Merdeka. Katanya ini untuk mengatasi terjadinya learning loss yang terjadi pada siswa.
Learning loss (Kehilangan pembelajaran) merujuk kepada sebuah kondisi hilangnya sebagian kecil atau sebagian besar pengetahuan dan keterampilan dalam perkembangan akademis yang biasanya diakibatkan oleh terhentinya proses pembelajaran dalam dunia pendidikan.
Learning loss menurut The Glossary of Education Reform (https://edglossary.org/) diartikan sebagai kehilangan atau keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang merujuk pada progres akademis, umumnya terjadi karena kesenjangan yang berkepanjangan atau diskontinuitas dalam pendidikan.
Contoh, jika kurikulum menargetkan 12 bab untuk 1 mata pelajaran, di kala pandemi sekolah hanya mampu mengajar 5 bab. Bersyukur kalau materinya dipahami dengan benar oleh siswa. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, beberapa guru mengirimkan banyak tugas online sebagai ketentuan penilaian.
Lewat Kurikulum Merdeka, guru diberikan kebebasan melakukan metode pembelajaran , memakai media kekinian dan mengatur strategi pembelajaran yang terpenting capaian pembelajaran (atau yang lebih akrab disebut CP) tercapai.
Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam. Konten lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi.
Guru memiliki keleluasaan untuk memilih berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik. Ini penjelasan Kemendikbud di https://ditpsd.kemdikbud.go.id/hal/kurikulum-merdeka.
Keunggulan Sekolah Alam
Bagi saya yang mengajar di sebuah sekolah alam, sudah tak asing dengan beberapa metode pengajaran yang dianjurkan pada kurikulum merdeka ini. Karena sekolah kami yang mempunyai jargon School of Experiences, sekolah yang berbasis pengalaman, sudah sering mempraktikkan pembelajaran yang langsung terjun kepada dunia nyata.
Pembelajaran yang tidak monoton dalam kelas berhadapan dengan papan tulis dan buku, tapi pembelajaran yang lekat dengan dunia nyata. Seperti belajar langsung penjumlahan dengan belanja ke pasar. Kemudian menghitung uang yang sudah dibelanjakan.
Tetapi bagi saya, hal terberat yang menyayat hati dan harus segera ditangani adalah terjadinya pergeseran moral siswa akibat pengaruh HP (handphone). Selama pandemi mereka banyak waktu dengan HP. Bermain game peperangan, mengakses konten porno.
Saat masuk sekolah perubahan itu terlihat contoh ada siswa bertutur kata kepada guru seperti dengan temannya. Tak ada sopan santun. Kadang emosinya meledak-ledak layaknya bermain game combat di HP.
Menghadapi fenomena ini, beberapa sekolah dengan sigap mengubah strategi target pembelajaran. Yang utama bukan capaian materi tapi pembinaan karakter. Caranya membiasakan kembali shalat lima waktu, mengaji, saling berbagi, berkata-kata sopan, hormat terhadap orang tua, hormat terhadap guru dan saling menghargai sesama teman.
Sejenak saya tertegun setelah seharian mengajar dan menghilangkan kelelahan setelah menghadapi tingkah pola siswa yang luar biasa. Teringat perkataan Ali bi Abi Thalib: Didiklah anak sesuai zamannya.
Ya inilah zaman internet. Sekarang kita menghadapi Generasi Z. Anak yang sejak lahir sudah mengenal internet. Tak heran jika tingkah-pola mereka terpengaruh gadget.
Inilah tantangan guru. Harus mengubah pola ajar, strategi pembelajaran, dan pendekatan yang diterapkan supaya siswa mudah untuk menyerap pesan, ilmu, pengalaman yang diberikan.
Editor Sugeng Purwanto