Membaca, Menulis, dan Urgensi Komunikasi: Berkaca pada KH Ahmad Dahlan; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku KH Ahmad Dahlan; Gelegak Dakwah Sang Penggerak dan delapan buku lainnya.
PWMU.CO – Kita bersyukur bahwa Allah sejak awal meminta agar umat-Nya suka membaca. Bahkan, pada saat yang sama kita juga harus senang menulis.
Perhatikanlah al-Alaq 1-5 berikut ini, terutama pada ayat 1 dan 4. “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3), Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (4). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5)”.
Ayat 1, jelas: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan”. Kita harus membaca sebanyak mungkin. Adapun yang perlu kita baca, bahan yang tertulis dan yang tak tertulis. Termasuk bahan bacaan yang tak tertulis adalah semua ciptaan Allah dan segenap kejadian di semesta alam ini.
Ayat 4, terang: “Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam”. Ini, memberi panduan supaya kita mencontoh bahwa Allah mendidik manusia lewat perantaraan kalam (yaitu aktivitas membaca dan menulis).
Bagi Allah, membaca dan menulis adalah aktivitas yang istimewa. Sebagai bukti, Allah menempatkan kedua aktivitas itu sebagai bagian utama dari lima ayat pertama yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan sekaligus ikut mengistimewakan aktivitas membaca dan menulis di keseharian.
Selanjutnya, mari baca Fushshilat 33 ini: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’.”
Terasa, di hadapan Allah, kegiatan menyeru kepada Allah yaitu mengajak manusia untuk mengerjakan amal shalih adalah amaliyah yang paling baik. Adapun langkah mengajak manusia untuk mengerjakan amal shalih adalah bagian dari dakwah. Oleh karena itu, siapa gerangan yang tak ingin berdakwah jika hal yang demikian merupakan salah satu cara terbaik dalam mematuhi titah Allah lewat Fushshilat 33?
Dalam hal cara penyampaian agar kita rajin berdakwah, Fushshilat 33 bisa jadi berbeda dengan Ali ‘Imraan 104. Untuk ayat yang disebut pertama tampak lembut, menyentuh kesadaran kita lewat sebuah pertanyaan yang jawabannya butuh perenungan.
Hal tersebut berbeda dengan Ali ‘Imran 104 yang cenderung lugas. Ayat itu artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang muGnkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. Makna makruf pada ayat tersebut adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah. Adapun makna munkar adalah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari Allah.
Respons Sang Pencerah
Lewat Ali ‘Imran 104, Allah memerintahkan manusia untuk berdakwah. Allah meminta dengan tegas agar kita “menyuruh manusia kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar”.
Ayat itu, Ali ‘Imran 104, benar-benar menginspirasi banyak pihak, termasuk KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Ulama ini tersulut semangat dakwahnya, lalu mendirikan Muhammadiyah pada 1912 di Kampung Kauman Yogyakarta.
Seperti apa perfoma Muhammadiyah sekarang? Berikut ini data pada 2021, seratus sembilan tahun setelah Muhammadiyah berdiri. Bahwa, Muhammadiyah memiliki ribuan sekolah (PAUD-TK serta pendidikan dasar dan menengah), ratusan perguruan tinggi, ratusan Rumah Sakit, dan ratusan klinik. Di samping itu, ada begitu banyak Panti Asuhan dan amal usaha lainnnya.
Lebih dari itu, dakwah Muhammadiyah menyentuh dunia internasional dalam skala luas. Di berbagai negeri, di lima benua, sudah ada Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM). Dakwah Muhammadiyah mendunia.
Di samping Ali ‘Imraan 104, ada ayat lagi yang menambah kukuh ajaran amar makruf nahi munkar. Cermatilah Ali ‘Imran 110 ini: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.
Pilihan Sang Pencerah
Dalam hal menyeru, mengajak manusia ke jalan Islam, Allah memberikan pilihan cara. Renungkanlah an-Nahl 125 ini: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Apa makna hikmah di ayat di atas? Hikmah adalah perkataan tegas dan benar sedemikian rupa dapat membedakan antara haq dengan bathil.
Jika kita perhatikan an-Nahl 125, ada beragam pilihan dakwah yaitu, pertama, dengan memberi pelajaran yang baik sedemikian rupa hikmah tersampaikan. Kedua, dengan diskusi bahkan debat jika diperlukan.
KH Ahmad Dahlan—sang Pencerah—melakukan semua jalan dakwah itu. Dia tak lelah berdakwah (memberi pelajaran yang baik) ke berbagai tempat, sejak muda sampai di hari-hari dekat akhir hidupnya. Dia juga berkali-kali menggunakan metode diskusi bahkan debat, sebagai bagian dari jalan dakwah.
Komunikasi dan Dakwah
KH Ahmad Dahlan sadar bahwa bagian paling dasar dari dakwah adalah komunikasi. Intinya, pesan dakwah harus bisa dikomunikasikan dengan berbagai cara. Dua cara paling penting adalah dengan lisan dan tulisan.
Sungguh menarik, KH Ahmad Dahlan juga mengandalkan kekuatan tulisan sebagai bagian dari komunikasi dakwahnya. KH Ahmad Dahlan yakin bahwa tulisan bisa menggerakkan orang. Sebagai contoh, dirinya sendiri sangat banyak terpengaruh oleh berbagai bacaan yang dikonsumsinya.
Salah satu yang mempengaruhi KH Ahmad Dahlan adalah pemikiran Muhammad Abduh (1849-1905). Lewat Majalah Al-Manar yang terbit di Mesir dan beredar di Indonesia, KH Ahmad Dahlan menyerap semangat pembaruan dalam memahami Islam.
Lalu bagaimana riwayat KH Ahmad Dahlan mulai memanfaatkan tulisan sebagai alat dakwah? Alkisah, pada 1911, terbit majalah Al-Munir di Padang. Semangat yang dibawanya, pembaharuan. Misinya adalah membimbing umat Islam ke arah ajaran yang benar, menambah pengetahuan, dan mempererat tali persaudaraan.
Salah satu pelanggan setia Al-Munir adalah KH Ahmad Dahlan. Tak hendak diam, dia menerjemahkan beberapa artikel Al-Munir ke bahasa Jawa dan disebarkan.
Tak berhenti di situ. Melengkapi dakwah di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial-kemasyarakatan maka pada 1915 Muhammadiyah mendirikan majalah Suara Muhammadiyah. Banyak yang bersyukur, sampai tulisan ini dibuat yaitu pada 1922, majalah ini masih terbit teratur.
Apakah KH Ahmad Dahlan turut menulis di Suara Muhammadiyah? Iya, beliau turut menulis (Djaelani, 2021: 171).
Adakah jejak lain dari KH Ahmad Dahlan yang menjadikan tulisan sebagai bagian penting komunikasi dakwahnya? Ternyata, ada. Dia tercatat pernah menulis karangan-karangan pendek dalam bahasa Jawa. Tentang hal itu, ada di dalam buku Al-Manar yang diterbitkan Muhammadiyah – Surakarta pada 1926 (Djaelani, 2021: 239).
Gerakan Para Pelanjut
KH Ahmad Dahlan wafat pada 1923. Lalu, apakah aktivis Muhammadiyah mewarisi semangat dari sang pendiri dalam hal berdakwah lewat tulisan? Apakah para penerus itu juga menganggap penting jurnalistik?
Adil adalah media cetak yang diterbitkan Muhammadiyah di Surakarta. Keberadaan Adil, yang terbit kali pertama pada 1 Oktober 1932, adalah realisasi dari keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-21 pada tahun 1932 di Makassar.
Di muktamar tersebut diputuskan, perlu diterbitkan media publikasi yang bernafaskan Islam di bawah naungan persyarikatan Muhammadiyah. Untuk itu, tugas pengadaan media publikasi itu diberikan kepada Konsul Muhammadiyah Surakarta.
Kala itu Adil adalah salah satu di antara dua pers Indonesia yang terbit sebelum Perang Dunia II. Satunya lagi, Panjebar Semangat (Penyebar Semangat). Media berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya dan kali pertama beredar pada 2 September 1933 itu, didirikan dr. Soetomo.
Adapun Adil semula terbit sebagai harian pagi. Isinya, berita-berita umum dan ajaran agama Islam. Media ini menjadi corong Muhammadiyah sekaligus pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kemudian dalam perjalanannya menjadi majalah dan sampai terakhir terbit, yaitu pada 1999, menjadi tabloid (Lasa Hs, dkk, 2014 : h. 159).
Demikianlah, betapa memang erat kaitan antara tiga hal yaitu membaca, menulis, dan komunikasi. Ketiganya terhubung kait-mengait. Tersebab “membaca” berbagai kejadian di sekitar, lalu lahir tulisan berupa berita. Kemudian, ketika berita dipublikasikan maka terbukalah komunikasi.
Semua rangkaian itu—yaitu dari membaca, menulis, dan terjalinnya komunikasi—bagi umat Islam potensial untuk dimuati nilai dakwah. Untuk itu, kita perlu belajar jurnalistik. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni