Marak Generasi Stroberi, Begini Cara Mencetak Anak Tangguh; Penulis Sayyidah Nuriyah, Kontributor PWMU.CO Gresik. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Bagaimana mencetak anak yang tangguh? Pertanyaan ini datang dari salah satu jamaah Pengajian Ahad Pagi yang diselenggarakan Masjid At-Taqwa Wisma Sidojangkung Indah, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Menurut Mariana, anak-anak saat ini menjadi generasi stroberi. “Mereka indah tapi rapuh. Itu kita lihat anak-anak usia SD bahkan mahasiswa!” katanyanya ketika terpilih mendapat kesempatan bertanya di sesi diskusi, Ahad (2/9/2022).
Menurut sang narasumber Prof Dr Zainuddin Maliki MSi–Anggota Fraksi PAN Daerah Pemilihan X Jatim–yang pagi itu membahas tema Jadikan Anak-Anak Terdidik dan Bermental Kuat, munculnya generasi stroberi itu akibat pembelajaran saat pandemi Covid-19 guru-guru tidak sempat memberikan pendidikan mental dan karakter.
“Sehingga yang lahir adalah generasi yang indah, bagus, tapi mentalnya tidak kuat,” ungkapnya.
Justru, menurut pria yang akrab disapa Prof ZM itu, mereka perlu menciptakan lingkungan pembelajaran yang membuat anak-anak penuh dengan tantangan. Mengingat, sebelumnya tantangan itu tidak diberikan kepada anak-anak didik di Indonesia.
Mendidik tanpa Kekerasan
Menanggapi pertanyaan M. Nasir, Anggota Komisi X DPR RI itu mengatakan, kalau ada anak yang sedikit-sedikit melaporkan gurunya, menurut dia itu juga produk orangtua yang mentalnya stroberi. Tapi, di sisi lain, Prof ZM menegaskan, “Harusnya guru tidak menggunakan kekerasan dalam mendidik anaknya!”
Misal dalam kasus anak terlambat. Dia menceritakan, “Sekali diperingatkan, besoknya terlambat lagi sehingga gurunya marah. Sudah dua kali diingatkan, besoknya terlambat lagi.”
Akhrinya kemarahan si guru tak lagi bisa dikendalikan. “Gurunya emosi, menggunakan kekerasan, anak dipukul. Anaknya tidak mengeluh. Malah menerima hukuman itu,” lanjutnya.
Suatu saat, sambung Prof ZM, Allah SWT mempertemukan sang guru dengan keluarga anak itu. Ketika pada jam di mana anak itu harusnya berangkat sekolah, anak itu masih menunggu di rumah. Sebab, ia bergantian seragam dengan kakaknya.
Dari kasus ini, Prof ZM menyimpulkan, si anak terlambat bukan karena nakal, tapi karena kondisi keterbatasan keluarga yang membuat si anak harus bergantian seragam, baru bisa berangkat sekolah. “Kalau guru langsung ambil kesimpulan itu anak bandel, maka yang keluar kekerasan. Tidak bisa begitu!” tuturnya.
Dukungan Tiga Aspek
Sebelum berangkat ke pengajian, Prof ZM menemukan video menarik. Dia menceritakan, “Ada siswa yang suka bikin ribut di kelasnya. Bikin teman-temannya tidak fokus belajar karena dia berisik. Kalau bermain di lapangan juga membuat teman-temannya terluka.”
Akhirnya, diketahui masalahnya adalah orangtuanya, terutama si bapak, sibuk mencari nafkah. “Nggak sempat memberikan perhatian kepada anaknya, jadi anak itu nakal karena kekurangan kasih sayang di keluarganya, lalu muncul di sekolah jadi anak bermasalah,” jelasnya.
Dia mengungkap, pendidikan yang baik terjadi saat anak mendapat dukungan dari tiga lingkungan, yaitu lingkungan di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Prof ZM memahami pertanyaan satu jamaah perempuan tentang pengaruh negatif media bagi pendidikan anak.
Menurutnya, mengendalikan hal ini memang susah. “Pemerintah, Kominfo saja tidak bisa menghentikan Bjorka,” ungkapnya.
Alhasil, Prof ZM mengimbau jamaah melakukan langkah cerdas menggunakan teknologi digital. “Orangtua harus belajar memahami kekurangan dan kelebihan teknologi agar tidak menjadi korban lingkungan,” tuturnya.
Sebelum menutup, dia mengajak jamaah menjadi orangtua yang waras agar bisa mendidik anak-anak mereka menjadi waras. Dengan begitulah menurutnya masyarakat jadi waras dan mampu memilih DPR yang waras. Dan Prof ZM pun memberikan hadiah bukunya berjudul Menyuarakan Kewarasan Publik dalam Politik. (*)