Ketika Muhammadiyah Ditarik-tarik ke Politik Praktis; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU seringkali, pada pesta demokrasi, ditarik ke ranah politik praktis. Ke kiri, kanan, seluruh penjuru. Karena dilihat sangat strategis dan menguntungkan. Apakah memang harus seperti itu di tatanan demokrasi sesungguhnya?
Demikian pertanyaan presenter Putri Ayuningtyas kepada Prof Dr KH Din Syamsuddin MA PhD saat hadir dalam program The Politician CNN Indonesia berjudul Din Syamsuddin, Islam dan Politik Indonesia, Rabu (12/10/2022)
Menurut Prof Din, sapaannya, itu konsekuensi logis dari sistem dan tradisi politik yang ada. Saat jadi Ketua Ummum PP Muhammadiyah tahun 2005-2015, dia menerima calon presiden berulang kali. “Kita tahu maksudnya untuk menarik dukungan,” ujarnya. “Tapi setelah menang sering melupakan Muhammadiyah.”
Dalam situasi itu, lanjutnya, pihaknya selalu menegaskan, “Muhammadiyah tidak terlibat dalam politik kekuasaan, tidak punya hubungan struktural dengan partai politik, dan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun!”
Meski demikian, kata Prof Din, pihaknya tetap menerima kedatangan calon presiden itu sebatas silaturahmi sambil menyampaikan pikiran-pikiran. “Itu masih saya lakukan setelah tidak memimpin Muhammadiyah, lewat organisasi lain yaitu Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (PIM) yang juga saya pimpin,” terangnya.
Menurutnya, organisasi itu ialah eksperimen kemajemukan. “Gerakan rakyat lintas agama, suku, dan profesi. Itu diskusi secara serius. Kita undang pasangan calon presiden dan wakil presiden. Waktu itu hanya Pak Prabowo yang datang. Kita sampaikan pikiran bersama,” jelas Prof Din.
Kalau ada yang datang seperti itu, sambungnya, bagi Muhammadiyah adalah kesempatan bersilaturahmi san bersilatulfikri (bertukar pikiran). Dia meluruskan, “Bukan untuk membuat deal-deal komitmen.” Sebab, kata Prof Din, sebenarnya hal itu bukan kebiasaan Muhammadiyah.
Oleh karena itu, dia berharap, “Ormas apapun (Islam maupun agama lain) betul-betul menjadi civil society organization. Ini juga jadi salah satu peluang, harapan, bagi adanya perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.” (*)