Din Syamsuddin Dorong Anak Muda Gunakan Jalur Konstitusi; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Prof Din Syamsuddin MA PhD mengungkapkan masalah politik Islam sebagaimana kritik pengamat Amerika Serikat Prof Allan Samson sejak sekitar tahun 1970, Rabu (12/10/22).
“Salah satunya terjebak pada the myth of numerical majority (mitos kemayoritasan). Seolah umat Islam besar, 88 persen, secara sosial tapi tidak pernah menjelma secara politik. Terutama pada politik elektoral dengan pemilu,” terangnya saat hadir dalam program The Politician CNN Indonesia berjudul Din Syamsuddin, Islam dan Politik Indonesia, yang dipandu presenter Putri Ayuningtyas, Rabu (12/10/2022).
Pria berlatar belakang unik dan komplit–dibesarkan di lingkungan Nahdliyin tapi kemudian menjadi tokoh utama di Muhammadiyah–itu mengungkapkan masalah selanjutnya. “Yang kedua dan yang penting, inability to manifest religious belief into political action, yaitu ketidakmampuan memanifestasikan keyakinan keagamaan dalam aksi politik,” ucapnya.
Maksudnya, ada keyakinan keislaman penuh dengan nilai-nilai keutamaan seperti kebenaran, keadilan, kejujuran; tapi susah dijelmakan dalam kehidupan politik. Saat ditanya di mana letak missing link dalam persoalan ini, Prof Din menjawab, bukan dari figur perorangan tapi lebih karena sistem yang mengitari kita.
“Sistem politik yang kurang memungkinkan untuk muncul politisi-politisi sejati. Lihat saja dari keterpilihannya, memerlukan dana besar! Hampir tidak ada yang tanpa sponsor. Ada sih satu-dua yang saya tahu. Oleh karena itu harus membayar. Maka kolusi dan korupsi itu akan mudah terjadi,” jelas dia.
Selain itu, dalam sistem politik Indonesia kurang terjaring sumber daya politik yang andal karena kegagalan partai politik menjadi partai kader. “Ya ada satu-dua, saya tidak ingin mengeneralisasi. Apalagi lewat sebuah proses pemilihan seperti itu yang menurut saya rusak,” ujarnya.
Menurutnya, proses pemilihan rusak dalam arti tidak sesuai dengan sila keempat Pancasila. “Tidak bisa kita harapkan hasil itu. Baik pada Pemilu legislatif maupun pada Pemilu eksekutif,” imbuhnya.
Perlu Terobosan
Menurut Prof Din, partai politik Islam yang ada di Indonesia ini punya pilihan keluar dari sistem saat ini. “Bisa (keluar). Kalau seandainya dari dalam partai politik, from within, ada breakthrough (terobosan),” tegas pendiri Partai Pelita itu.
Dia menilai, ini meniscayakan ada orang-orang yang memang ingin tampil sebagai agen perubahan. “Ia melakukan, hanya mereka bersepakat untuk menentukan peraturan-peraturan UU yang mengarah pada kebaikan, kemaslahatan bangsa seperti yang dicita-citakan pendiri bangsa ini,” tambahnya.
Tapi dengan sistem seperti itu, sambungnya, banyak dari politisi–meski tidak semua karena masih banyak juga yang punya idealisme dan cita-cita perjuangan yang mulia–yang menikmati.
Dia pernah diundang Komisi II DPR RI untuk menyampaikan pikiran sehubungan dengan revisi UU Pemilu. “Saya katakan, kalau hanya mengubah perabot dari rumah seperti ini tidak ada artinya. Rumahnya sendiri yang harus diubah, dalam arti bangunan politik itu sendiri,” ungkapnya.
Kemudian dia menyatakan ingin mengajak generasi penerus untuk tidak hilang harapan. “Saya tidak ingin menghalangi, kawan-kawan saya banyak yang menempuh jalur ‘revolusi’. Terutama mendesakkan, bukan pemakzulan, lembaga politik yang ada seperti MPR atau DPR untuk melakukan perubahan,” ujarnya.
“Saya juga mendorong anak-anak muda yang ingin lewat jalur konstitusi. Walaupun berat, tidak murah dan lama, harus ditempuh!” lanjutnya.
Akhirnya Prof Din mengingatkan, “Kalau dengan pesimisme, saya tidak tahu. Usia kita terbatas. Kita tinggal menangis dalam alam barzakh. Meratapi dan menatap Indonesia yang semakin jauh dari cita-cita pendiriannya oleh pendiri bangsa.” (*)