Dari Talkshow RBC Institute: Setelah Kejadian Kanjuruhan, Saya Tak Bisa Makan Tiga Hari, Liputam Azhar Syahida, contributor PWMU.CO Kabupaten Malang
PWMU.CO – RBC Institute A Malik Fadjar bekerja sama dengan Fantasista menyelenggarakan RBC Talkshow bertajuk, Bisakah Korban Tragedi Kanjuruhan Melakukan Class Action pada Pemerintah dan Polisi? Senin (17/10/2022). Berbagai cerita dan pandangan mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan di markas RBC Institute Jalan Perumahan Permata Jingga Kav 12-13 Kota Malang, Jawa Timur.
“Setelah kejadian itu, saya tidak bisa makan selama tiga hari,” kata Deni Pangestu, salah satu narasumber.
Deni menuturkan ia hari itu masuk melalui gate 13 sekitar menit 80. Tetapi karena penuh sesak, ia memutuskan keluar dan masuk melalui gate 12 di tribun penonton yang berdiri. Ketika masuk, ia melihat para pemain Arema sudah berdiri melingkar di tengah lapangan. Tidak berselang lama, kepulan asap gas air mata membumbung. “Rasanya, di mata perih, kalau terkena hidung langsung sesak. Baunya seperti belerang,” terangnya.
Deni, yang hari itu datang ke stadion sendirian, mengaku tidak bisa tidur berhari-hari, “(Saya) terbayang-bayang suara anak-anak kecil menjerit.”
Trauma psikologis ini tidak hanya dialami oleh Deni. Tapi juga mayoritas Aremania yang ketika itu berada di stadion, lebih-lebih mereka yang bersama keluarga, anak-anak, dan teman sejawat. Dalam konteks ini, kita perlu fokus pada penanganan korban.
“Perspektif korban harus diutamakan,” sebagaimana disampaikan oleh Agus Muin, salah satu anggota Tim Gabungan Hukum Aremania di RBC Talkshow.
Agus menyebut, perspektif korban ini perlu diutamakan untuk melihat sebetulnya chaos yang terjadi antara Aremania dan aparat keamanan itu adalah bentuk provokasi atau reaksi? “Untuk itu, kita perlu melihat kejadian ini secara menyeluruh, harus dilakukan investigasi secara mendalam,” terangnya.
Sebab, sambungnya, jangan sampai kejadian ini menjadi konflik yang berkelanjutan, karena dibawa ke mana-mana. Maka itu, ruang-ruang dialog, kerja sama, kejujuran, dan keterbukaan mesti dibangun untuk membantu memulihkan luka psikologis dan upaya menuntut keadilan oleh keluarga korban atas tragedi ini.
“Pemerintah perlu melihat kejadian ini dalam perspektif jangka panjang. Apakah tragedi ini membawa dampak negatif secara psikologis pada kelompok masyarakat yang lebih luas? Apakah ada kemungkinan keluarga korban akan mengalami gangguan psikis akibat kejadian ini, dan merusak masa depannya? Hal-hal semacam ini perlu dipikirkan oleh pemerintah,” terangnya.
Termasuk, lanjut dia, efek-efek kesehatan fisik. Misalnya, Agus menyebut bahwa beberapa korban yang ia dampingi berpotensi mengalami kebutaan permanen akibat iritasi mata yang disebabkan oleh gas air mata.
Baca sambungan di halaman 2: Perlindungan Korban