Jalan Keluar agar Indonesia Tak Alami Kebangkrutan Demokrasi; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah.
PWMU.CO – Saat diminta memprediksi yang akan terjadi pada Pemilu 2024 nanti–apakah ada pendekatan atau pola perpolitikan yang berbeda yang akan dialami Indonesia–Din Syamsuddin memperkirakan praktik dan tradisi politik tidak jauh berbeda dan tidak mengalami perubahan karena sistemnya tidak berubah.
“Ada continuity and change, ada keberlangsungan walaupun ada perubahan,” ujarnya saat jurnalis Putri Ayuningtyas menanyakannya di program The Politician CNN Indonesia, Rabu (12/10/22).
Prof Din, sapaannya, berpendapat, “Selama presidential treshold masih dipatok seperti sekarang, 20 persen, tidak akan ada perubahan! Hanya akan membuat partai-partai politik saling berinteraksi melakukan deal-deal dan nyaris politik dagang sapi.”
Adapun perubahan yang mungkin ialah karena presiden itu sudah dua periode. Katanya, “Tidak memungkinkan lagi untuk tiga periode walaupun dicoba-coba tiga periode. Saya kira akan jadi malapetaka nasional itu! Atau ditambah dua tahun dengan dalih karena Covid-19, itu akan menjadi hiruk-pikuk.”
Karena periode terakhir, sambungnya, maka itu peluang bagi calon-calon baru dan calon-calon lama yang maju lagi. “Seperti Partai Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan, atau PDIP punya suara besar bisa mencalonkan calonnya sendiri, atau Gerindra dengan Pak Prabowo yang sedang banyak dibahas. Saya memprediksi tidak akan banyak perubahan selama sistemnya tidak diubah,” terangnya.
Prof Din berharap ada calon-calon baru, terutama yang bisa membawa Indonesia kepada perubahan. Meski, ke arah perubahan itu juga akan berbeda-beda di antara mereka.
“Oleh karena itu perlu leadership change leadership. Kepemimpinan perubahan dengan mengubah manajemen politik ke arah perubahan. Terutama politik bukan sebagai bisnis seperti biasa,” ujar pria yang kini telah berusia 64 tahun itu.
Menurutnya, perubahan harus terus diperjuangkan agar sistem politik dan pemilu ini diubah, terutama dalam hal presidential treshold. Jika ini dilakukan, dia menilai itu membuka peluang bagi banyak calon. “Kalau tidak, apalagi ada yang mengarahkan hanya ada dua pasangan calon, ini buruk bagi upaya menjaring pemimpin-pemimpin terbaik Indonesia,” tambahnya.
Kemungkinan Bipolarisasi
Pendiri Partai Pelita itu menegaskan perlunya memberi banyak kemungkinan pasangan calon. “Kalau dipatok 20 persen ya paling banyak tiga (pasangan calon) nanti dan akan mengkristal jadi dua. Ini yang akan mendorong bipolarisasi dalam tubuh bangsa,” lanjutnya.
Menurutnya bipolarisasi ini sudah terjadi dan dia khawatir akan terulang kembali. Tak hanya itu, dia khawatir bipolarisasi itu nantinya juga dikaitkan dengan identitas dan saling tuduh sehingga politik identitas menjadi sesuatu yang buruk.
“Identitas itu melekat pada diri manusia tapi dipakai sebagai pendekatan memiting seperti dalam gulat. Itu dituduhnya kepada kalangan Islam. Maka banyak kalangan Muslim yang sakit hati,” jelas mantan Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu.
Padahal politik identitas tak terpisahkan dari diri manusia. Dia pun menjelaskan, “Semua menampilkan politik identitas. Lihat saja partai-partai politik dengan simbolnya masing-masing. Tapi ini akan menjadi alat politik, terutama jika ada dua pasangan calon.”
Guru besar FISIP UIN Jakarta itu memprediksi, bipolarisasi atau keterbelahan di tubuh bangsa atas dasar basis promordial atau keagamaan akan menguat. Dia menyatakan sangat prihatin jika ini terjadi.
Meski ada kemungkinan itu terjadi, menurut Prof Din jalan keluarnya tidak pernah dipikirkan. Akhirnya dia meyatakan jalan keluarnya dengan rombak sistem politik. “Kembalikan pada Pancasila: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan!” tegasnya.
Prof Din optimis saat ini masih mungkin untuk mengubah sistemnya. Katanya, “Mengapa tidak mungkin (berubah)? Mohon maaf, harus ada good will political dari semua pihak! (Pemilu) Dua tahun masih lama. Jangankan sebulan, satu minggu sebelumnya masih bisa diubah kalau kita mau.”
Kalau kita tidak mau, lanjutnya, sebagian nanti memilih untuk tidak memilih. Menurutnya, inilah kebangkrutan demokrasi yang akan bangsa Indonesia peroleh.
Kegagalan Demokrasi
Prof Din menyatakan, hubungan bangsa itu bukan dialogis tapi dialektik. Dia menerangkan, “Upaya dialog-dialog antaragama dan kelompok bagaikan kita membangun gunung pasir itu langsung ambruk terkena gelombang. Ini masalah Indonesia, jadi memerlukan negarawan-negarawan yang berpikir jernih dan cerdas.”
Terkait beberapa tokoh politik yang menemui pimpinan partai politik dan sepakat mengatakan ingin pemilu yang damai, tidak ingin intoleran, dan tidak memecah belah bangsa; menurutnya itu akan selalu diucapkan para calon presiden dan wakil presiden jelang pemilu. Tapi dia memprediksi itu tidak akan jadi kenyataan karena sistem ini sangat mempengaruhi.
“Sistem ini membawa dampak sistemik. Luar biasa daya rusaknya!” ujar Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban pada 2017 itu.
Menurutnya, yang akan terjadi nanti deal-deal antara partai-partai politik. Padahal dia menilai, di luar partai politik itu banyak figur dan sumber daya yang sebenarnya mumpuni dan punya integritas. “Tapi tidak akan bisa terlacak oleh radar partai-partai politik karena mereka punya egoismenya sendiri,” imbuhnya.
Prof Din menyimpulkan, demokrasi telah gagal menjadi alat untuk mewujudkan kesejahteraan. Selain itu juga gagal menjadi alat partai politik sebagai pendidikan politik untuk menampilkan kader-kader bangsa yang banyak.
“Apalagi ketika partai politik dibatasi dengan ketentuan-ketentuan, akhirnya oligarki akan tetap bercokol, oligarki ekonomi akan tetap mendiktekan politik. Ini tidak akan membawa perubahan signifikan Indonesia 2024 ke 2029,” ungkapnya. (*)