Subuh Syahdu di Aya Sophia Oleh Pradana Boy ZTF, Wakil Dekan I Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
PWMU.CO – Turun dari pesawat Air Arabia yang membawa penumpang dari Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, ke Istanbul, saya dan istri, Lailatul Fithriyah, segera menuju ke loket imigrasi. Semua dokumen kami siapkan: dari paspor, undangan konferensi, tiket pulang pergi, hingga bukti reservasi hotel. Bagi yang kerap berkunjung ke luar negeri, hal seperti ini sangat bisa dipahami. Imigrasi di hampir semua negara akan menanyakan hal-hal tersebut.
Namun ada dua kejutan. Baris antrean menuju loket imigrasi Turkiye—dulu disebut Turki—tidak begitu panjang. Ini mengejutkan. Mengingat Turkiye belakangan ini menjadi tujuan wisata favorit warga negara Indonesia. Tetapi, karena kami turun di Bandar Udara Sabiha Gokcen, yang tidak terlalu besar, maka penumpang tidak begitu banyak. Pemandangan ini tentu berbeda dengan yang terjadi di Istanbul International Airport yang sangat besar dan ramai. Kejutan lainnya adalah, saat menyerahkan paspor kepada petugas imigrasi di Istanbul itu, sama sekali tidak ada pertanyaan.
Petugas hanya bertanya: “Apa kabar?” dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata. Patut diduga, potongan bahasa Indonesia yang dia ucapkan itu karena ia terlalu banyak menerima turis asal Indonesia, sehingga sedikit banyak harus menguasai kosa kata bahasa Indonesia. Setelah itu, paspor distempel, dan tanpa kesulitan apa-apa, kami masuk ke wilayah Turkiye.
Bandar udara Sabiha Gokcen berada di sisi Istanbul Asia. Seperti lazim kita ketahui, Istanbul adalah sebuah kota yang menempati dua benua, yaitu Asia dan Eropa. Dibelah oleh Selat Bosporus, sisi barat selat adalah daratan Eropa, dan sisi timur adalah Asia. Hotel yang akan kami tempati berada di sisi Eropa, sehingga dalam perjalanan dari bandara Sabiha ke hotel, kami melewati Selat Bosporus melalui jembatan Fatih Sultan Mehmet. Dari atas jembatan, Selat Bosporus menawarkan pemandangan yang indah. Warna biru teduh airnya, seperti menawarkan ketentraman bagi hati setiap orang yang memandangnya.
Murad, pengemudi taksi yang membawa kami, sepanjang jalan bercerita aneka hal tentang Turkiye dengan bahasa Inggris yang terbata-bata. Jika dia tidak menemukan kosa kata bahasa Inggris, atau dia berbicara dalam bahasa Inggris yang sulit dipahami, dia mengambil ponselnya, membuka aplikasi terjemahan, dan berbicara dalam bahasa Turkiye, kemudian keluarlah terjemahan bahasa Inggrisnya. Sungguh pengalaman unik. Namun, kalimat yang paling sering keluar dari Murad adalah, “Istanbul, traffic jam,” untuk menceritakan kepada kami tentang bagaimana macetnya lalu lintas di Istanbul.
Baca sambungan di halaman 2: Usul Subuh di Aya Sophia