Perlukah Pimpinan Muhammadiyah Dipanggil Kiai Haji? oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO– Di acara pengajian atau peresmian amal usaha semakin sering pembicara atau pimpinan Muhammadiyah dipanggil kiai haji oleh pembawa acara dan tuan rumah.
Misal, Profesor Doktor Kiai Haji Haedar Nashir. Atau Kiai Haji Doktor Saad Ibrahim. Bahkan ada yang menambahkan dengan sebutan almukarrom..
Panggilan kiai muncul dalam masyarakat tradisional untuk orang yang menguasai ilmu dan urusan agama. Bukan hanya agama Islam. Sebab di Mojowarno Jombang dulu ada penyebar Kristen pribumi yang dipanggil Kiai Sadrach.
Zamakhsyari Dhofier dalam buku Tradisi Pesantren menjelaskan, sebutan kiai disematkan masyarakat kepada pemimpin pondok pesantren. Karena memimpin pesantren maka kiai juga menguasai kitab kuning, mengajar, dan memimpin shalat jamaah di masjid.
Tambahan haji karena orangnya sudah melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Meskipun haji bukan gelar tapi panggilan haji menambah prestisius sosial seseorang yang dianggap sudah lengkap Rukun Islamnya.
Lain lagi dalam tradisi Kraton Yogyakarta sebutan kiai bukan hanya untuk orang yang berilmu agama tapi juga benda pusaka yang dikeramatkan. Ada Kiai Garuda Yeksa, pusaka kereta kerajaan yang digunakan saat kirab penobatan sultan.
Ada lagi Kiai Sekati nama gamelan untuk perayaan sekaten. Terdiri dua perangkat gamelan diberi nama Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari. Setelah perjanjian Giyanti tahun 1755, dalam pembagian gono gini, gamelan Kiai Guntur Sari jadi milik Kasunanan Surakarta. Kraton Yogyakarta lalu membuat duplikatnya yang diberi nama Kiai Nogo Wilogo.
Di Solo ada kebo bule yang dipanggil Kiai Slamet sebagai hewan pusaka kerajaan yang ikut kirab waktu perayaan 1 Suro. Di Masjid Agung Solo, bedugnya bernama Kiai Wahyu Tengara.
Gerakan Modern
Muhammadiyah yang menyebut diri sebagai gerakan Islam modern perlukah pimpinan Muhammadiyah dipanggil kiai haji?
Gelar modern adalah gelar akademis yang terukur kualitasnya. Diperoleh dari belajar di perguruan tinggi secara berjenjang mulai tingkat sarjana, magister, dan doktor. Kalau sudah memenuhi syarat pengabdian mengajar dan penelitian bisa mendapat gelar profesor.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah semuanya memiliki gelar akademis ini. Ada yang lengkap sampai profesor. Diperoleh dari perguruan tinggi dalam negeri maupun luar negeri. Inilah ciri gelar gerakan Islam modern.
Kalau sekarang makin sering orang memanggil pimpinan Muhammadiyah dengan sebutan kiai haji, ini menandakan ada pergeseran perilaku orang Muhammadiyah dari modern ke tradisional.
Gelar akademis itu dianggap tidak lagi keren dan prestisius maka menjadi latah dengan ikutan memanggil kiai haji. Mungkin dianggap makin sempurna.
Apalagi tokoh tradisional sekarang banyak juga yang menyandang gelar doktor dan profesor. Mungkinkah ini yang mendorong warga Muhammadiyah tak mau kalah menghormati pemimpinnya dengan menempelkan gelar tradisional kiai haji?
Kalau benar, maka sekarang ini sedang terjadi muslim tradisional bergeser ke arah modern, sedangkan orang Muhammadiyah menjadi tradisional.
Ada yang berdalih pimpinan Muhammadiyah itu layak dipanggil kiai haji karena mendirikan dan mengelola sekolah, perguruan tinggi, dan masjid. Juga menguasai kitab kuning dan putih. Punya banyak murid dan mahasiswa.
Dalih ini justru menguatkan indikasi adanya gejala pergeseran orang Muhammadiyah menjadi tradisional itu.
Tradisi Muhammadiyah
Tradisi Muhammadiyah adalah membangun pendidikan modern. KH Ahmad Dahlan memilih mendirikan sekolah model Belanda daripada pondok pesantren. Memakai meja, kursi, papan tulis. Mata pelajarannya bukan hanya fikih, tafsir Quran dan hadits. Juga berhitung dan astronomi. Demi model sekolah ini sampai dicap sebagai kiai kafir.
Semua aset amal usaha yang dibangun bukan milik pendiri. Tapi milik Persyarikatan Muhammadiyah. Dikelola dengan menganut sistem organisasi dan manajemen yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kalau ada zakat, infak, sedekah, wakaf bukan dikuasai pendiri tapi milik organisasi. Semua dicatat, ada pelaporan dan pengawasan. Dipakai untuk kepentingan umat.
Aset itu tidak bisa diwariskan turun temurun. Anak-anak pemimpin Muhammadiyah juga tidak mendapat perlakuan istimewa. Tidak ada panggilan gus dan privilege-nya. Anak-anak ini dihormati berdasarkan ilmu dan perilakunya bukan nasab. Tidak ada kultus individu tapi tetap mengajarkan tawadhu’.
Dengan tradisi ini di Muhammadiyah tidak populer dengan panggilan kiai haji. Tapi lazim dengan gelar akademis.
Bukankah Ahmad Dahlan sendiri dipanggil kiai haji? Bisa jadi ya. Karena penghormatan masyarakat di zaman itu terhadap status sosial dan jabatannya.
Dia anak pejabat kraton, lalu menjabat khatib amin di Hoofd Penghulu Kraton, menjadi imam shalat di Masjid Gede, pernah nyantri di pesantren, menguasai kitab kuning, punya santri di Langgar Kidul, punya murid di sekolahnya, naik haji dua kali.
Meskipun punya status sosial setinggi itu, dalam surat-surat yang dikeluarkan Hoofdbestuur Muhammadiyah, namanya hanya ditulis H Ahmad Dahlan tanpa embel-embel kiai. Ahmad Dahlan memilih keluar dari kejumudan tradsional menuju gerakan modern.
Jadi perlukah pimpinan Muhammadiyah dipanggil kiai haji? Kalau ingin tetap menjadi gerakan modern semestinya tidak perlu. (*)