PWMU.CO– Fikih Informasi atau Fiqh an-Naba’ perlu menjadi pegangan dalam bermedia sosial. Fikih informasi mengatur etika menulis yang baik sehingga tidak merugikan orang lain.
Demikian disampaikan Dr Mahsun Djayadi dalam Ngaji Reboan di Masjid al-Amin Simorejosari Surabaya, Rabu (15/11/2022) bakda Isya.
Memasuki era digital, kata Mahsun, membawa banyak manfaat pada satu sisi, tapi memberi dampak negatif pada sisi lain.
”Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat orang semakin mudah untuk mendapat, mengelola, menyimpan, dan mengirim informasi dengan berbagai bentuk dan variasinya,” kata Mahsun yang dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Istilah informasi, sambung dia, dapat disejajarkan dengan istilah dalam bahasa Arab khabar. Bentuk jamaknya akhbaar. Artinya, berita.
Menurut dia, Islam mengajarkan tabayyun jika berkaitan dengan berita atau isu negatif. Termuat di surat al-Hujurat: 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.
Dijelaskan, Imam Syafi’i, bapak usul fiqh, menyebutkan, kegiatan penyebaran informasi yang belum diyakini kebenarannya sebagai kebohongan tak terlihat atau tersamar (al-kadzib al-khafi).
Dalam kitabnya al-Risalah, Imam Syafi’i mengemukakan
أّنَّ اْلكَذِبَ الَّذِي نَهَاهُمْ عَنْهُ هُوَ اْلكَذِبُ اْلخَفِيُّ وَذَلِكَ اْلحَدِيثُ عَمَّنْ لَا يُعْرَفُ صِدْقُهُ.
Sesungguhnya kebohongan yang juga dilarang adalah kebohongan tak terlihat, yakni menceritakan kabar dari orang yang tak jelas kejujurannya. (Imam al-Syafi’i, 2006: 267).
”Setiap muslim dilarang mencari-cari aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain, baik individu maupun kelompok, kecuali untuk tujuan yang dibenarkan secara syar’i seperti untuk penegakan hukum atau mendamaikan orang yang bertikai,” tuturnya.
Karena itu, ujar dia, menggunakan media sosial, warga Muhammadiyah harus berlandaskan kepada akhlaqul karimah sesuai tuntunan al-Quran dan hadits.
NetizMu, sebutan untuk netizen Muhammadiyah, menggunakan media sosial sebagai sarana dakwah amar makruf nahi mungkar dengan hikmah dan mauizhah hasanah. ”Hindari ghibah, fitnah, namimah dan menyebarkan permusuhan,” tandasnya.
Penulis Jahja Sholahuddin Editor Sugeng Purwanto