Muhammadiyah dan Spirit Fastabiqul Khairat; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis dwilogi KH Ahmad Dahlan; Gelegak Dakwah sang Penggerak” dan KH Ahmad Dahlan dan Kader-Kader Teladan
PWMU.CO – Fastabiqul khairat. Rasanya, (hampir semua) warga Muhammadiyah pernah mendengar atau mengucapkan bagian dari Surat al-Baqarah 148 dan al-Maidah 48 itu. Ini menarik!
Fastabiqul khairat artinya adalah berlomba-lombalah dalam kebaikan. Menarik, pertama, frasa ini seringkali diucapkan warga (Pemuda) Muhammadiyah ketika akan mengakhiri ceramahnya. Kedua, frasa ini secara resmi menjadi bagian penting di lambang Pemuda Muhammadiyah dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Frasa fastabiqul khairat berasal dari firman Allah yang terdapat di dua ayat di dalam al-Quran, yaitu Surat al-Baqarah ayat 148 dan Surat al-Maidah ayat 48.
Kita simak: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (al-Baqarah 148).
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (al-Maidah 48).
Menarik, di lingkungan Muhammadiyah, kapan tradisi menutup ceramah dengan fastabiqul khairat bermula? “Tidak bisa diketahui secara pasti, kapan kebiasaan ini dimulai. Yang pasti, kebiasaan pengucapan kalimat ini begitu melekat di lingkungan warga Muhammadiyah,” tulis Ensiklopedi Muhammadiyah (2015: 280).
Agar kita punya pemahaman yang cukup atas makna fastabiqul khairat mari kita simak kajian Buya Hamka di Tafsir Al-Azhar. Kita mulai dengan al-Baqarah 148.
“Al-‘Aufi,” tulis Hamka, “meriwayatkan dari lbnu Abbas mengenai tafsir ayat ini, ialah bahwa bagi tiap-tiap pemeluk suatu agama ada kiblatnya sendiri. Bahkan tiap-tiap kabilah-pun mempunyai tujuan dan arah sendiri, mana yang dia sukai. Namun orang yang beriman tujuan atau kiblatnya hanya satu, yaitu mendapat ridha Allah.”
“Jangan kamu berlarut-larut,” masih kata Hamka, “berpanjang-panjang bertengkar perkara peralihan kiblat. Kalau orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak mau mengikuti kiblat kamu, biarkanlah. Sama-sama setialah pada kiblat masing-masing. Dalam agama tidak ada paksaan. Cuma berlombalah berbuat serba kebajikan, sama-sama beramal dan membuat jasa di dalam kehidupan ini,”
“Perlombaan manusia,” kata Hamka, “(dalam) berbuat baik di dunia ini belumlah berhenti. Segala sesuatu bisa kejadian. Kebenaran Tuhan makin lama makin nampak. Allah Maha Kuasa berbuat sekehendak-Nya”.
Berlomba-lomba dalam kebaikan dengan siapa? Ternyata, kata Hamka, termasuk dengan pemeluk agama lain. Kita perhatikan ini: “Ayat ini adalah seruan merata: seruan damai dari lembah wahyu ke dalam masyarakat manusia berbagai agama. Bukan khusus kepada ummat Muhammad saja,” demikian Hamka (2007: 341).
Positif di Sepanjang Zaman
Sekarang kita simak kajian Buya Hamka di Tafsir Al-Azhar, tentang al-Maidah 48. “Pergunakanlah akal itu,” kata Hamka, “dan berlomba-lombalah kamu semuanya berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik di dalam dunia ini, dengan memegang pokok pertama yaitu ketaatan kepada Tuhan dan percaya bahwa di belakang hidup yang sekarang ini ada lagi hidup akhirat.”
Hamka berpesan, jangan seperti binatang yang hanya memiliki “satu corak”. Boleh jadi, maksud Hamka, antarbinatang itu tak ada aktivitas berlomba-lomba dalam kebaikan. Aktivitas mereka seragam, bergerak hanya berdasar naluri saja.
Itu berbeda dengan manusia. Pada manusia, ada akal. Di titik ini, bisa dimengerti jika terkait berlomba-lomba dalam kebaikan itu, antarmanusia sesekali terjadi perselisihan pendapat atau sikap. Namun, sejauh ada argumentasinya masing-masing, itu tak masalah.
“Oleh karena masing-masing telah diberi hak berfikir dan berijtihad, tetap dengan memakai dasar menuju kebaikan, sudah terang akan terdapat berbagai perselisihan pendapat dan perlainan hasil ijtihad,” kata Hamka.
Boleh berbeda jalan dalam pelbagai perlombaan amaliyah itu, asalkan tetap dalam bingkai yang sama: Menuju kebaikan!
Siapa yang paling tepat pilihan caranya di gerakan “berlomba-lomba dalam kebaikan” itu? Tentang ini, biarlah Allah kelak di kemudian hari-di hari kiamat—yang memutus.
Tugas kita, kata Hamka, “Mana saja pekerjaan yang dianggap baik, dengan dasar takwa kepada Allah, teruskanlah. Jangan berhenti di tengah jalan. Keputusan terakhir ada di tangan Tuhan, kelak di kemudian hari. Janganlah perselisihan pendapat menimbulkan permusuhan dan kebencian, sebab dasarmu adalah satu jua. Di sinilah arti yang sebenarnya terkandung apa yang pernah disebut dalam Hadits, Perselisihan ummatku adalah rahmat.”
Lihat, kata Hamka, “Sejarah timbulnya llmu Ushul Fiqh dan Fiqh dalam Islam, bertemulah kita dengan pelopor-pelopor Ijtihad yang besar-besar, sebagai keempat Imam yang terkenal dan beberapa Imam yang lain. Memang mereka telah berlomba berijtihad, …..”.
“Mereka,” lanjut Hamka, “Benar-benar telah berlomba berbuat kebajikan. Benar-benarlah buah usaha mereka menjadi rahmat bagi kita yang datang di belakang. Mereka telah memudahkan jalan bagi kita melanjutkan usaha, sebab dunia tidak berhenti berputar, dan keadaan ruang serta waktu selalu berkembang. Maka sesuailah syariat Islam dengan ruang dan waktu” (2007: 1757).
Demikianlah, Hamka telah menjelaskan dengan baik makna fastabiqul khairat. Sebuah kajian yang semakin meneguhkan umat Islam, tak hanya warga Muhammadiyah, untuk setiap saat selalu dalam posisi “Berlomba-lomba dalam kebaikan”.
Terakhir, insyaallah karena telah menjadikan spirit Fastabiqul Khairat sebagai keseharian, maka warga Muhammadiyah terus tanpa henti menebar amal shalih. Bahkan hingga ke manca negara, lengkap di lima benua. Alhamdulillah, Allahu Akbar! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni